Rabu, 16 April 2014

[Cerpen] ORANG-ORANG YANG (TIDAK) BAHAGIA


Orang Pertama

Berada sangat dekat dengan orang yang paling kaubenci, apa yang akan kaulakukan?
Menjambak rambutnya? Tidak, jangan lakukan itu!
Pergilah, pergilah yang jauh!

        Saat kembali melihat perempuan itu, aku langsung teringat gadis kecil yang menunggu ibunya berhenti bersedih.
        Gadis kecil itu telah berusaha mengusir kesedihan di jiwa ibunya, tetapi kesedihan itu tak pernah pergi. Ia memperlihatkan kertas-kertas ulangannya yang selalu mendapat nilai tinggi, ibunya tersenyum bangga. Ia membacakan karangannya yang mendapat pujian dari gurunya, ibunya tersenyum sambil berkata, “Suatu saat kamu akan jadi penulis hebat, Nak.”
        Ibunya memang selalu tersenyum pada gadis sembilan tahun itu, tetapi ia tahu jiwa ibunya diliputi kesedihan. Kesedihan itu datang tiba-tiba saat ia dan ibunya melihat seorang lelaki sedang bermesraan dengan wanita lain di sebuah mal.
        “Itu Ayah kan, Bu?”
        “Itu bukan Ayah, Nak. Ayahmu sedang kerja di luar kota.”
        “Oh, iya, Ola lupa. Kan Ola yang antar Ayah ke bandara.”
        “Iya. Sekarang kita ke pantai saja, ya?”
        “Hah, kok ke pantai, Bu. Kita kan belum belanja.”
        “Di pantai lebih seru. Belanjanya nanti saja.”
        Setelah hari itu, ayahnya pulang dari luar kota membawa oleh-oleh yang banyak. Gadis kecil itu sangat bahagia, tetapi tidak dengan ibunya. Diam-diam, dari balik selimutnya, gadis kecil itu menyimak pertengkaran kedua orang tuanya. Perempuan lain, selingkuh, bohong, dan entah berapa kata lagi yang ditangkap gadis kecil itu sebelum kantuk menidurkannya.
        Keesokan harinya ibunya masih tersenyum, tetapi gadis kecil itu tahu jika ibunya hanya pura-pura tersenyum, agar ia berangkat ke sekolah dengan gembira. Saat pulang sekolah, gadis kecil itu mendapati kesedihan di mata ibunya.
        “Mata Ibu kenapa bengkak?”
        “Oh, ini ... tidak apa-apa, Sayang. Ibu habis kupas bawang.”
        Gadis kecil itu langsung memeluk ibunya. Jangan sedih ya, Bu. Ola akan selalu bersama Ibu.
        Hari berikutnya, saat pulang dari sekolah, gadis kecil itu melihat lebam di wajah dan tangan ibunya. Ia sangat marah dan tahu harus marah kepada siapa.

        “Kenapa Ayah memukul Ibu?”
        “Ayah tidak memukul Ibu, Nak. Ibumu jatuh di kamar mandi.”
        “Kenapa Ayah tidak bawa Ibu ke rumah sakit?”
        “Ibumu tidak mau. Coba kamu yang bujuk.”
        “Ayah bohong!” Klik. Gadis kecil itu melempar handphone-nya di tempat tidur, kemudian menuruni anak tangga mencari ibunya. Ibunya sedang menangis di sudut kamarnya. Kali ini ia tak lagi menyembunyikan air matanya pada gadis kecil itu. Mereka berpelukan. Lama. Mulai hari itu, kesedihan begitu tampak di wajah ibunya.
        Hingga suatu hari, di usianya yang sepuluh tahun, gadis kecil itu melihat pertengkaran ayah dan ibunya. Bukan hanya pertengkaran, tetapi juga darah. Ibunya berteriak saat ayahnya jatuh dari tangga. Para pembantu datang dan ibunya menangis histeris. Bukan aku yang mendorongnya! teriak sang ibu, menjawab tatapan mata penuh curiga dari orang-orang yang datang. Gadis kecil itu pun membela ibunya. Ia melihat semuanya. Ayahnya terpeleset sendiri, jatuh, dan meninggal.
        Di pemakaman ayahnya, gadis kecil itu melihat perempuan yang telah merusak kebahagiaan keluarga mereka. Perempuan yang telah membuat ibunya terus bersedih, meski segala upaya telah dilakukan gadis kecil itu untuk membuat ibunya kembali tersenyum. Sia-sia. Hingga di hari keseribu ayahnya pergi, sang ibu terus murung dan melamun. Di hari keseribu satu, ibunya meninggal karena serangan jantung. Gadis kecil itu akhirnya tinggal bersama adik ibunya. Menjadi yatim piatu di usia tiga belas tahun, membuat gadis kecil itu sangat membenci perempuan yang telah membuat keluarganya berantakan.
        Gadis kecil itu adalah aku.

Orang Kedua
        Mengingat Bima, membuatku ingin hanyut terbawa ombak. Tetapi sungguh, saat ini aku tak ingin mati, juga tak ingin bunuh diri. Kubayangkan ada seseorang akan menolongku kembali ke pantai. Aku yang hanya pingsan, kemudian dibawa orang itu ke rumah sakit. Ia lalu memeriksa handphone-ku saat dokter sedang berusaha menjauhkanku dari kematian. Dan aku akan sangat bahagia saat menyadari bahwa penolongku telah menghubungi orang yang tepat. Orang itu yang akan pertama kali kulihat ketika siuman, karena ia tengah menjagaku di sisi tempat tidur.
        Angin sepoi-sepoi akhirnya menyadarkanku dari lamunan. Kulirik jam di handphone-ku. Pukul 11.30. Pantai Nusa Dua bertambah ramai meski matahari sangat terik. Turis-turis asing berjemur di pasir putih dengan kaca mata hitam yang hampir menutupi wajah mereka. Ombak-ombak kecil membuat beberapa balita berlarian kembali ke ibunya. Sementara banana boat terus melaju di tengah laut. Obrolan demi obrolan tertangkap telingaku, lalu lenyap seketika. Ada yang tertawa begitu renyah, ada juga yang hanya diam. Diam sepertiku.
        Gadis itu—yang duduk sekitar tiga meter dari kursi pantaiku—juga hanya diam sambil sesekali menulis sesuatu di bukunya. Aku memandanginya. Ia sangat cantik. Tank top ketat yang dikenakannya membuat tubuh langsing gadis itu kian tampak. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai, membuat angin seringkali usil menutupi matanya. Ah, mata itu.... Mata kami bertemu. Refleks aku langsung tersenyum, tetapi tidak dengannya. Tatapannya aneh. Buru-buru ia menunduk menatap kembali bukunya.
        Aku tertegun. Mata gadis itu mengingatkanku pada mata Seno. Mata bulat dengan sorot yang tajam. Mata yang telah membuatku jatuh cinta, sekaligus kehilangan banyak cinta. Aku menghela napas, lalu bangkit dari kursi pantaiku. Menangis di hotel akan jauh lebih baik, pikirku. Saat hendak melangkah, pandanganku kabur. Aku memaksa tetap berjalan. Beberapa langkah kemudian, tubuhku terjatuh. Tak ada lagi yang kutahu setelah itu.

Orang Pertama
        Sial. Perempuan itu jatuh tepat di depan kursiku. Aku pun membawanya ke rumah sakit terdekat. Dokter yang ternyata mengenal perempuan itu sebagai salah satu pasiennya, mengatakan jika perempuan itu menderita kanker tulang stadium awal. Aku tertegun. Tak perlu waktu lama, aku langsung memeriksa tas kecil yang dibawa perempuan itu. Ada sebuah handphone dan dompet di tas itu. Di dalam dompetnya kutemukan dua kartu nama yang menunjukkan identitasnya dan identitas seseorang bernama Bima Wijaya. Aku langsung mencari nama Bima di kontak handphone-nya dan ... ada. Tapi, tidak! Aku tidak boleh kasihan padanya. Aku meraih handphone di saku celanaku, lalu memindahkan nomor itu untuk jaga-jaga jika terjadi sesuatu yang buruk pada perempuan itu. Ah, tapi bukankah rumah sakit ini pasti bisa membuat seluruh keluarganya datang secepat mungkin? Akhirnya kutinggalkan perempuan itu saat ia belum sadarkan diri.
                                                                               ***
        Aku kembali ke Pantai Nusa Dua ini dan melihat perempuan itu sudah ada di kursinya yang kemarin. Buru-buru aku berbalik. Mungkin aku tidak boleh ke sini lagi, pikirku. Tetapi perempuan itu mengejarku. Aku tak acuh.
        “Tunggu, Nak.” Kali ini perempuan itu sudah meraih lenganku. Aku berbalik dan melihat seulas senyum di bibirnya.
        “Terima kasih sudah menolong Tante kemarin,” ucapnya dengan wajah berseri. Tante? Sejak kapan dia menikah dengan om-ku? Lagipula dari mana dia tahu kalau aku yang membawanya ke rumah sakit? Apa kukatakan saja kalau dia salah orang? Ah, sial!
        “Tidak apa-apa. Maaf, saya buru-buru.” Akhirnya kata-kata itu yang keluar dari mulutku.
        “Tunggu!” Dia lagi-lagi menarik lenganku. Aku menatapnya kesal. “Boleh Tante tahu nama kamu?” Aku tertegun. Dia tentu sudah lupa semuanya. Namaku, wajahku, dan segala perbuatannya sepuluh tahun lalu.


Orang Kedua
        Namanya Lana. Ia akhirnya mau kuajak ke restoran Bebek Bengil yang ada di kawasan The Bay Bali ini—hanya tiga ratus meter dari Pantai Nusa Dua—sebagai ungkapan terima kasih atas pertolongannya padaku. Kami pun memilih duduk di luar ruangan, di salah satu pondok yang berjajar rapi di antara rindangnya pepohonan.
        “Mengapa memandangku seperti itu?” Gadis ini bertanya kesal saat memergokiku terus memandanginya saat kami sedang menunggu pesanan. Aku tersenyum kecil sebelum menjawab pertanyaannya.
        “Tidak apa-apa. Saya hanya sedang berpikir, mungkin punya anak perempuan akan lebih menyenangkan, ya?”
        “Memangnya ada apa dengan anak laki-laki? Mungkin Anda saja yang kurang bersyukur.” Aku kaget mendengar responsnya. Sejak awal ia memang tampak dingin padaku. Tapi, bukankah aku memang kurang bersyukur saat itu? Baiklah, akan kukatakan jika dugaannya benar.
        Namun tiba-tiba seorang pelayan datang menghampiri kami, membawakan seporsi smoked duck, bebek asap khas Bali yang dilengkapi dengan nasi putih, seporsi sate, sepiring urap, dan tambahan dua gelas jus. Seorang pelayan lain datang belakangan membawa pesanan kami yang menjadi menu andalan restoran ini, seporsi bebek bengil crispy duck, bebek yang digoreng hingga renyah dengan bumbu khas yang meresap hingga ke dalam daging. Aku menengok sambal matah yang diletakkan di dekatku. Irisan bawang mentahnya begitu menggoda.
        Setelah pelayan itu pergi, aku mempersilakan gadis ini makan. Dia terlihat segan. Aku berkelakar jika ia tak perlu khawatir, karena makanan di sini semuanya enak dan aku pasti sanggup membayarnya. Ia tersenyum tawar, lalu memulai makan.
        “Aku seorang ibu yang tidak bahagia,” ucapku memecah keheningan. Gadis di hadapanku ini berdeham sambil memandangku sekilas, lalu ia kembali menatap piringnya. Tidak ada pertanyaan yang keluar dari bibir jingganya, namun entah mengapa aku ingin bercerita lebih banyak padanya. Kelihatannya dia anak yang baik. Lagipula, sesekali aku ingin membagi kisahku pada anak-anak muda sepertinya, agar ... ah, entahlah. 
        “Aku pernah melakukan kesalahan bodoh dalam hidupku.” Aku menghentikan sebentar kata-kataku, sekadar memastikan jika gadis ini mau mendengar curahan hatiku atau tidak.
        “Kesalahan apa?” tanyanya pendek. Aku senang mendengarnya bertanya. Setidaknya, pertanyaan itu adalah tanda jika ia mau mendengarku.
        Aku pun bercerita tentang kesalahan besar yang pernah kulakukan sepuluh tahun silam. Kukatakan jika saat itu aku sudah berkeluarga, memiliki suami yang baik hati dan seorang anak lelaki yang manis, namun sepasang mata telah memikatku, benar-benar membuatku tergila-gila. Kami saling jatuh cinta, meski kutahu ia juga telah berkeluarga. Suatu hari perselingkuhan kami terbongkar. Suamiku langsung menceraikanku dan membawa anak kami yang saat itu berusia lima belas tahun untuk ikut bersamanya. Saat pergi dari rumah, mobil mereka menabrak pohon. Mantan suamiku meninggal saat dibawa ke rumah sakit, sementara anakku luka parah. Syukurlah Tuhan masih memberikan kesempatan hidup padanya. Aku pun merawat anak tunggalku itu dengan penuh kasih sayang, tetapi kebenciannya padaku tak pernah hilang. Berkali-kali aku meminta maaf, namun yang keluar dari mulutnya hanya kata “percuma”. Kami memang masih tinggal serumah hingga saat ini, tetapi ia kuanggap sebagai manusia paling sibuk di dunia. Sejak SMA hingga memiliki pekerjaan, ia selalu saja menyibukkan diri. Mungkin ia sengaja menghindariku. Mungkin teman-temannya di luar jauh lebih menyenangkan daripada aku.
        “Apa dia tahu penyakit Anda?” tanya gadis ini tiba-tiba. Aku menggeleng sambil menyeka ujung mata yang telah basah.
        “Percuma memberitahunya. Dia pasti tidak peduli.”
        “Apa anak Anda bernama Bima Wijaya?” Aku terkesiap mendengar pertanyaan keduanya. Dari mana ia tahu nama anakku?



Orang Pertama
        Aku kehilangan kata saat mendengar cerita perempuan paruh baya itu. Aku di antara keraguan ingin mencacinya atau tetap diam, berpura-pura tidak mengenalnya. Sejak pertama kali kembali melihat wajah perempuan itu tiga hari lalu, aku yakin jika ia adalah perempuan yang telah membuat ibuku bersedih bertahun-tahun. Wajahnya tak berubah, tetap cantik seperti dulu. Hanya saja ia tampak rapuh dan sangat kurus karena penyakitnya itu. Tahi lalat cukup besar di atas alisnya membuatku semakin yakin jika ia adalah Santi. Dia memang bernama Santi setelah melihat kartu namanya di rumah sakit.
        Tanganku menyusuri lekuk kayu rumah pohon di Pirates Bay ini, masih di kawasan The Bay Bali yang kemarin kudatangi bersama perempuan itu. Aku berjalan pelan sambil memandang kosong ke luar rumah pohon. Perasaan sedih berkecamuk di dadaku. Entah mengapa aku merasa cerita perempuan itu telah menusuk-nusuk perasaanku. Mungkinkah selama ini aku sama dengannya? Tidak bahagiakah aku karena belum menerima takdir sendiri? Takdir kesunyian atas kehilangan Ayah dan Ibu yang begitu cepat? Aku akhirnya duduk memeluk lutut. Tak ada orang lain di sini. Di sebelah kananku segelas orange juice masih penuh. Tiba-tiba saja sesuatu terlintas di benakku. Aku langsung meraih handphone di kantung celana, lalu menyentuh gambar amplop di kanan atas touchscreen-ku.
        Aku menuruni anak tangga rumah pohon ini saat jam di handphone-ku menunjukkan pukul 16.35. Saat menginjak pasir, kusadari jika para pengunjung telah memadati Pirates Bay ini. Senyumku merekah tiba-tiba. Ini pertama kalinya aku menulis pesan hingga satu jam sebelum mengirimnya ke sebuah nomor. Aku pun berjalan pelan menuju hotel, menikmati embusan angin yang begitu sejuk. Liburan ini selesai. Besok pagi aku akan kembali ke Jakarta.

Orang Kedua
        Setelah lelah berjalan menyusuri Pantai Nusa Dua ini, aku akhirnya duduk di sebuah kursi pantai yang dilengkapi dengan payung. Sudah dua hari aku mencari gadis bernama Lana itu, tetapi ia tak ada. Salahku sendiri yang hanya sibuk bercerita tentang diri sendiri tanpa mau menanyakan alamatnya, pekerjaannya, asalnya, atau apa saja tentangnya. Aku hanya tahu nama kecilnya. Oh, buruk sekali. Bahkan di hotel mana ia menginap, aku tak tahu. Padahal aku ingin kembali berterima kasih pada gadis itu. Entah mengapa, usai bercerita padanya dua hari lalu, kelegaan tiba-tiba memuncak di hatiku. Aku seperti anak kecil yang baru saja memecahkan guci ibunya, namun ibunya tak memasalahkan hal itu. Lega dan juga bahagia.
        “Selamat siang.” Seorang pemuda tiba-tiba menyapaku. Kuperbaiki posisi duduk, lalu memandangnya penuh tanya. Ia pun kembali bersuara, “Maaf mengganggu, Bu. Benar dengan Bu Santi?”
        “Iya. Ada apa?” tanyaku semakin bingung. Pemuda itu tersenyum ramah.
        “Anda ditunggu seseorang di restoran Bebek Bengil,” ucap pemuda itu sambil menunjuk sebuah arah. “Mari saya antar,” katanya lagi.
        “Siapa yang menunggu?”
        “Nanti Ibu lihat sendiri di sana. Mari.”
        Rasa penasaran membuatku turun dari kursi dan mengikuti langkah anak muda yang berseragam pramusaji ini. Mungkinkah gadis itu yang menungguku? Jantungku tiba-tiba berdebar kencang. Kutanyakan kembali pada pemuda ini tentang siapa yang menungguku, namun ia hanya tersenyum sambil berkata jika kami sudah dekat.
        “Nah, itu orangnya, Bu,” ucap pemuda ini sambil menunjuk sebuah pondok dari jarak sekitar tujuh meter. Pondok yang bersebelahan dengan tempatku duduk bersama Lana beberapa hari lalu. Aku langsung kaget melihat seseorang yang sedang duduk di pondok itu. Saat menyadari kedatanganku, ia langsung bergegas menghampiriku. Dipeluknya aku yang masih tertegun. Aku balas memeluknya saat meyakini bahwa ini bukanlah mimpi. Setelah itu, ia merangkulku ke pondok tempatnya duduk tadi. Aku menoleh ke kiri dan kanan untuk berterima kasih pada pramusaji yang sudah mengantarku, tetapi anak muda itu sudah tak ada.
        “Ayo, Ma,” ucap Bima mempersilakanku duduk. Di atas meja sudah tersaji piring-piring berisi makanan, juga beberapa gelas minuman. Aku langsung duduk di hadapannya.
        “Kamu ada tugas kantor di sini?” tanyaku saat Bima menyendokkan nasi ke piringku.
        “Tidak ada, Ma. Bima ke sini mau jemput Mama.”
        “Jemput ke mana?” aku memandangnya penuh tanya.
        “Kita ke Singapura, ya, Ma?” Bima balas menatapku lembut. “Mama harus berobat ke sana.” Aku terkejut mendengar kata-katanya.
        “Kamu tahu dari mana kalau Mama sakit?”
        “Itu tidak penting, Ma. Yang penting sekarang kesehatan Mama. Mama janji ya mau ikut Bima ke Singapura?” Aku terdiam, masih tak percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulut anakku ini.
        “Kenapa? Bukannya kamu masih marah sama Mama? Bukannya kamu belum mau memaafkan Mama?” tanyaku dengan mata yang berkaca-kaca. Ia terdiam sejenak sebelum berucap lirih.
        “Karena Bima sayang sama Mama. Karena Bima tidak mau kehilangan Mama. Bima sudah memaafkan Mama. Bima yang salah selama ini.”
        Mendengar kata-katanya, air mataku tumpah begitu banyak. Aku tersedu-sedu seperti anak kecil. Namun kali ini aku menangis bukan karena sedih, tetapi karena kebahagian yang tak lagi bisa kuungkap dengan kata-kata. Aku hanya sanggup mengucap syukur dalam hati. Anak lelakiku telah kembali, kembali mencintai ibunya seperti sepuluh tahun silam.

Orang Pertama
        Usai pulang dari wawancara kerja di salah satu tv nasional, aku langsung tidur-tiduran di kamarku. Setelah hampir satu tahun menganggur setelah wisuda, aku memutuskan untuk mencari pekerjaan. Tiba-tiba handphone-ku berdering. Langsung kubaca sebuah pesan yang masuk.

Hai, Ola, aku akhirnya memberitahu Mama apa yang sudah membuatku berubah. Mama terharu membaca SMS-mu. Beliau mengucapkan terima kasih. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu

        Aku kaget membaca SMS ini. Kupikir anak itu hanya akan menertawai SMS yang kukirim seminggu lalu, namun ternyata ia malah memberitahu ibunya. Kucari kembali SMS yang kukirim itu, tetapi tak ada. Baru kuingat jika handphone-ku sempat terformat. Biarlah hanya aku, Bima, dan ibunya yang tahu isi SMS itu. Dan biarlah mereka tetap tak tahu jika Ola dan Lana adalah dua kata dari nama panjangku. Aolana Senoaji.
        Kukeluarkan kartu dari handphone-ku, mengamatinya beberapa saat, lalu mematahkannya menjadi dua. Mereka tak perlu menghubungiku lagi. Semoga Tante Santi bisa sembuh dari sakitnya.
        Pelan-pelan kubuka daun jendela kamarku lebar-lebar. Di hadapanku tampak taman bunga yang masih terawat berkat kecintaan adik ibu pada tanaman. Semilir angin membawa aroma semerbak masuk ke kamarku, ke tubuhku, ke ingatanku. “Taman bunga ini sengaja Ayah dan Ibu buat di samping kamar kamu, agar jika kamu membuka jendela, kamu bisa merasakan kebahagiaan hanya dengan menghirup aroma bunga-bunga, melihat keindahannya, juga merasakan kupu-kupu hinggap di pundak tanganmu. Karena kamu tahu, Sayang, kebahagiaan itu bisa hadir dari hal-hal yang sederhana,” ucap ayah enam belas tahun silam. Kala itu aku masih tujuh tahun, belum mengerti makna kata-kata ayah, tetapi tetap saja aku mengangguk.
        Tiba-tiba seekor kupu-kupu mengitari kamarku, berhenti sesaat di bahuku, lalu kembali hinggap di bunga-bunga. Sekarang aku paham kebahagiaan yang dimaksud ayah. Kebahagiaan besar yang bersumber dari hal-hal kecil.
        Aku telah mengikhlaskan kepergian Ayah dan Ibu. Aku telah memaafkan orang yang paling kubenci sepuluh tahun ini. Sesederhana itu dan aku bahagia.

• Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! www.thebaybali.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar