Rabu, 22 April 2015

[RESENSI NOVEL KEI]

Tragedi Cinta Berlatar Sejarah


Judul Buku     : Kei: Kutemukan Cinta di Tengah Perang
Pengarang      : Erni Aladjai
Penerbit          : GagasMedia
Tahun Terbit    : Cetakan pertama, 2013
Tebal              : x + 254 halaman
ISBN             : 978-979-780-649-1

Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa sejak 1999-2001, terjadi perang saudara di Maluku. Dalam kurun waktu tiga tahun tersebut, ribuan orang tewas, ribuan pula yang cacat fisik, belasan ribu perempuan menjadi janda, belasan ribu orang menjadi pengangguran, ratusan ribu penduduk terpaksa mengungsi, dan adapula yang dinyatakan hilang (hlm. 1). Adakah yang telah melupakan sejarah kelam tersebut? Atau adakah yang tidak tahu bahwa peristiwa menyedihkan tersebut pernah terjadi di Maluku, salah satu provinsi di Indonesia?
Kei mengisahkan tentang perang saudara yang terjadi di Ambon, ibu kota provinsi Maluku, yang kemudian menyebar ke pulau-pulau lain di Maluku. Salah satunya ke Pulau Kei, pulau yang selama ini dikenal damai, pulau yang masyarakatnya hidup penuh toleransi di tengah keragaman agama dan suku, pulau yang masyarakatnya menjunjung tinggi adat dan ajaran leluhur. Namun, kuatnya sentimen agama sanggup membuat Pulau Kei bergolak. Desa-desa di Kei pun saling serang. 
Maret 1999, saat Namira Evav, gadis asal Elaar, beserta sahabatnya, Mery, yang berasal dari Evu, baru saja selesai menarikan Tarian Sosoi Swar Man-Vuun dalam Pesta Adat Tutup Sasi, tiba-tiba seorang pemuda datang mengabarkan bahwa Elaar akan diserang. Semua orang yang menghadiri pesta adat tersebut merasa ketakutan. Tak terkecuali Namira dan Mery, dua sahabat berbeda agama yang saling menyayangi.
Meskipun hari itu serangan tidak terjadi, namun masih di bulan Maret 1999, Namira melihat orang-orang tak dikenal membawa parang-parang panjang, menggenggam batu, dan memanggul senapan. Penyerangan terhadap Elaar oleh dua desa tetangga terjadi di depan mata Namira. Saat itulah Namira ditarik seseorang masuk ke hutan, dan dimulailah kehidupan Namira sebagai seorang pengungsi yang terus berpindah-pindah.
Di tempat lain, Sala, pemuda Desa Watran yang baru pulang mengantar pisau pesanan ibu-ibu di Mun Kahar, sebuah pulau kecil di Kei Besar, begitu terpukul dengan kenyataan yang dilihatnya. Ibunya, orang tua yang seorang diri membesarkannya, tertelungkup bersimbah darah di pekarangan rumahnya. Perempuan itu telah meninggal, membuat Sala benar-benar putus asa.
Namun, Sala yang besar dengan petuah-petuah ibunya tentang hukum adat Kei, tidak setuju ketika orang-orang di desanya merundingkan rencana serangan balasan ke desa-desa yang telah menyerang mereka. Namun, niat orang-orang yang hatinya telah diliputi sakit hati dan dendam, tak bisa lagi ditentang. Akhirnya, Sala pergi dari Watran. Perjalanannya pun sampai di Langgur.
Di Langgur, Namira dan Sala bertemu di tempat pengungsian. Bermula ketika Sala mencabut pecahan botol di telapak kaki Namira, dilanjutkan dengan perhatian-perhatian Sala kepada gadis itu, hingga percakapan-percakapan keduanya di bawah pohon ketapang; Namira senang mendengarkan Sala bercerita.
Hubungan keduanya pun terus terjalin di tengah perang yang tak kunjung usai. Keduanya saling mencintai. Sala bahkan ingin segera menikahi Namira. Namun, Langgur yang kemudian ikut rusuh, memaksa Namira mengungsi ke Evu, sementara Sala tetap di Langgur. Saat Evu nyaris kacau, Namira ditarik seorang ibu masuk ke kapal barang KM Cinta Semusim yang membawa Namira ke Makassar, ke kehidupannya yang baru.
Sala yang gagal menemukan Namira di Evu, akhirnya memilih ikut temannya, Edo, ke Jakarta. Kehidupan yang diimpikan Sala tidak terjadi di kota tersebut. Sala malah menjadi anak buah Bos Yo, seorang pemilik usaha debt collector dan penyewaan jasa pembunuh bayaran, yang memaksa Sala melakukan tindak kejahatan yang paling dijauhinya selama ini.
Novel unggulan “Sayembara Menulis Novel DKJ 2012” ini sangat menarik dibaca, karena adanya kompleksitas alur yang dihadirkan pengarang. Kisah cinta Namira dan Sala yang berlatar sejarah (perang di Pulau Kei), membuat dramatisasi novel ini begitu terasa, terutama tentang perubahan hidup Sala yang kontras setelah berpisah dengan Namira. Banyak tragedi (peristiwa menyedihkan) yang dihadirkan pengarang dalam novel ini. Sayangnya, dengan gaya penulisan Erni yang cepat, penggambaran perasaan tokoh-tokohnya dalam beberapa peristiwa menjadi kurang tergali. Saat Sala atau Namira sedih, penggambaran itu hanya ditulis satu paragraf atau beberapa kalimat, setelah itu beralih ke peristiwa lain. Misalnya saat Erni menggambarkan kesedihan Sala yang tidak menemukan Namira di Evu dengan kalimat “Sala lemas” dan “Dadanya perih” (hlm. 155). Penggambaran tersebut kurang mampu memancing emosi pembaca.
Kekurangan lain dalam novel ini, yaitu adanya inkonsistensi mengenai lama Namira berada di Makassar. Jika merunut tanggal Namira berangkat ke Makassar, yaitu Mei 1999 (hlm. 148), lalu Namira berada di pelabuhan Kota Makassar untuk kembali ke Kei pada November 2001 (hlm. 2), berarti Namira berada di Makassar selama tiga puluh satu bulan atau dua setengah tahun. Hal ini diperkuat dengan usia Namira yang saat perang berusia 18 tahun (hlm. 138) dan saat pulang kembali ke Kei berusia 20 tahun (hlm. 3). Namun, di halaman 230 ditulis bahwa Namira tinggal selama setahun di Makassar, dan pada halaman 234 ditulis bahwa Namira meninggalkan rumahnya di Elaar selama setahun lebih.
Selain kekurangan tersebut, novel ini juga tidak luput dari kesalahan penulisan (masalah tipografi) dan kesalahan penggunaan EYD, misalnya: menengaknya (hlm. 16), menjengguk (hlm. 19), waswas (hlm. 18), mengali (hlm. 31), Kei besar (hlm. 28), tersium (114), pelanggara (hlm. 233), merekaya (hlm. 233), dan beberapa lainnya.
Suasana perang dalam novel ini begitu terasa penggambarannya. Hiruk-pikuk di pengungsian, para korban yang perlu pertolongan, dan sebab akibat terjadinya pertikaian, semua dihadirkan pengarang dengan porsi yang pas. Kei adalah novel dengan alur yang tidak mudah ditebak. Nasib tokoh-tokohnya begitu cepat berubah, membangkitkan rasa penasaran tentang akhir dari kisah Namira dan Sala.  
Di beberapa halaman terakhir dalam novel ini, pengarang sukses memainkan emosi pembaca melalui keadaan Sala yang kritis. Lalu, di antara keadaan kritis itu, momen manis yang menggetarkan pun terjadi, yaitu saat Sala (dengan sisa tenaganya) menulis surat untuk Namira. Akankah surat yang ditulis di pembungkus rokok itu sampai ke tujuan?
Novel ini sangat menarik untuk dituntaskan. Kei memperlihatkan bahwa perang saudara hanyalah ulah “Tuan Iblis” yang membuat perkara-perkara sepele bergeser menjadi isu-isu keagamaan. Kei juga memperlihatkan bahwa orang-orang Katolik, Protestan, dan Muslim, sesungguhnya hidup rukun di Kei, mereka saling tolong-menolong di tengah perang yang terjadi.
Intinya, melalui Kei, Erni menyampaikan bahwa perang selalu membawa kesedihan mendalam bagi orang-orang yang mengalaminya. Perang melahirkan duka kehilangan, duka kerinduan, kesemrawutan hidup, juga keputusasaan. 
“…. Kerusuhan telah membuat kita saling membenci, kehilangan kepercayaan, dan depresi. Satu hal yang kita harus pelihara hanyalah hati nurani dan rasa belas kasihan. Jangan pernah membiarkan perang ini merenggut rasa belas kasih kita, jangan pernah!” (hlm. 146).
Kei membuka mata kita, membangkitkan sensitivitas kita bahwa pertikaian tidak pernah membawa manfaat apa pun, justru kerugianlah yang akan diperoleh. Berpikir cerdas, jangan mudah tersulut isu-isu liar, dan segeralah mencari solusi perdamaian, adalah hal-hal positif yang bisa dipetik dari Kei.