Sabtu, 31 Oktober 2015

[Cerpen] Disaksikan Sebatang Pohon

Karya Susi S. Idris

12 Juni 2015
Aku memacu motorku dengan kecepatan sedang melintasi jalan B. Jalan B, sebut saja demikian, sebab ini bukan jalan raya di perkotaan yang setiap ruasnya memiliki nama. Ini hanya jalan berkelok-kelok nyaris lima kilometer—yang tujuh tahun lalu dibuka pemerintah—untuk memberi akses tercepat kepada warga kabupaten menuju ibu kota provinsi. Aku melewatinya nyaris setiap akhir pekan sejak mulai kuliah—enam tahun lalu—di sebuah universitas ibu kota. Jarak desaku dari universitas itu kira-kira empat puluh kilometer, dan Jalan B (yang kiri dan kanannya masih berupa jurang, sesekali tebing, nyaris tidak ada pemukiman) berada di tengah-tengah—dua puluh kilometer dari rumahku.
Ada satu titik di pinggir jalan B ini yang setiap kali melihatnya, setiap kali melewatinya, dadaku serta-merta bergetar. Kira-kira seratus meter lagi motorku akan mencapai titik itu. Titik yang masih bisa kukenali meski lima tahun telah berlalu dari sebuah Peristiwa Besar yang menimpaku. Sebatang pohon mahoni adalah tanda. Di bawah pohon itulah, titik hidup dan matiku pernah beradu.
Aku ‘menyesal’ dan ‘berjanji’ secara bersamaan di bawah pohon itu, lima tahun lalu. Aku menyesal atas sikapku yang selama bertahun-tahun nyaris tidak pernah patuh terhadap peraturan berkendara. Aku menyesali semuanya, maka aku berjanji di antara luka dan rasa perih di sekujur tubuh bahwa aku tidak akan lagi melanggar peraturan lalu lintas, bahkan aku berjanji akan mewujudkan mimpi Ayah yang menginginkanku menjadi seorang polisi.
Tuhan Maha Mendengar. Dari mata yang setengah terpejam bisa kulihat seorang perempuan berambut panjang, bertopi cokelat, berwajah putih pucat, meraih tanganku. Setelah itu, tidak ada lagi yang kuingat. Aku terbangun dari koma tiga hari kemudian di sebuah rumah sakit provinsi. Aku selamat dari maut.
Kunaikkan kaca helm untuk melihat lebih jelas pohon mahoni yang masih berdiri kokoh di pinggir jalan beraspal ini (sebelah kanan dari arah rumahku). Laju motor kupelankan. Bisa kulihat pohon itu semakin menjulang dan rimbun. Di bawahnya, rumput-rumput tumbuh subur. Tubuhku pernah terbaring tidak berdaya di rumput itu. Dadaku bergetar, lagi-lagi bergetar penuh syukur. Semoga perempuan penyelamatku selalu diberi kebahagiaan, di mana pun dia berada. Sejujurnya, tidak ada yang mengetahui wajah perempuan itu selain aku. Dua perawat yang menurunkanku dari mobil ke ruang UGD mengatakan bahwa mereka tidak melihat jelas seseorang di depan kemudi. Wajahnya terhalang topi. Lagi pula, mobil itu langsung pergi.

22 Agustus 2010
Aku sudah siap di depan kemudi, tetapi Riza belum juga muncul. Kutekan klakson berkali-kali, dan sesaat kemudian kembaranku itu muncul bersama Bapak di teras. “Lama banget, sih!” keluhku, lalu menyuruhnya segera naik. Aku dan Riza kuliah di universitas dan program studi yang sama, kelas kami pun sama. Itulah sebabnya, setiap hari kami ke kampus bersama-sama. Saat baru saja hendak kulajukan motor—yang dibelikan Bapak dua tahun lalu saat kami akhirnya sudah cukup umur berkendara—Bapak menyela agar Riza di boncenganku memakai helm-nya. Riza tidak mau, dia hanya memeluk helm merah jambu itu. Aku pun mematikan mesin motor.
“Riz, pakai saja,” kataku membela Bapak. Ini kebiasaan buruk Riza yang entah kapan akan diubahnya. “Apa, sih, susahnya pakai helm?” lanjutku kesal.
“Rez,” meski aku lahir dua puluh menit lebih awal dari Riza, dia tidak mau memanggilku dengan embel-embel ‘kakak’, “rambutku sudah cantik begini, masa harus kurusak dengan helm?” Aku melihat rambut panjang Riza yang keriting bervolume—hasil kerja kerasnya selama satu malam dengan alat sosis dan beberapa krim rambut. Aku mendengus.
“Riza, helm itu untuk melindungi kepala, Nak,” kata Bapak mengingatkan. Lelaki bertubuh tinggi kurus dengan beberapa uban itu menambahkan, “Kamu lebih memilih keindahan rambut atau keamanan kepala? Keselamatan itu nomor satu.”
Riza bersungut-sungut sambil memakai helm dengan sangat tidak ikhlas. “Nah, rusak, ‘kan?” Dia melepasnya lagi, memasangnya lagi, melepasnya lagi, lalu bercermin di spion. “Jalan!” katanya padaku setelah kembali ke boncengan dengan helm di kepala.
***
Kuempaskan tubuhku yang lemas tanpa daya di kursi kayu panjang yang sandarannya menempel pada batang pohon ketapang. Pandanganku tertuju pada kelas A yang berjarak sekitar sepuluh meter di hadapanku. Kelas itu tampak dingin dengan pintu yang tertutup rapat. Lima menit lalu, drama pengusiran terjadi lagi di ambang pintu. Aku mendesah kecewa sambil memeluk tas ranselku. Di dalamnya ada tugas yang tidak akan dinilai Pak Robi, dan otomatis nilai akhirku di mata kuliah Kajian Prosa Fiksi akan berkurang, mungkin B, mungkin C, kuharap bukan D.
Pandanganku lalu tertuju pada Riza yang berjalan terseok-seok ke arahku. Kontur tanah menuju pohon ketapang ini memang agak membukit, dan dia memakai high heels setinggi telunjuk orang dewasa. Aku mendesah untuk gayanya hari ini. Dia tampak seperti SPG di toko sepatu. Kadang aku berpikir, aku dan Riza bukanlah anak kembar. Selain wajah kami yang identik, tidak ada lagi kesamaan di diri kami. Riza feminin, aku tidak. Riza susah diatur, aku lumayan penurut. Riza senang makan durian, aku mual bahkan hanya dengan mencium aroma buah berduri itu. Riza pembersih (terutama masalah kebersihan kamar), aku senang mengacaukan kamar sendiri. Riza pandai menari, aku tidak. Terlalu banyak perbedaan di antara kami.
“Uh, menyebalkan!” Riza duduk di sampingku, membuka tas untuk mencari kertas, lalu kipas-kipas. Aku memandang wajahnya dari samping. Kami benar-benar mirip: kulit putih, mata sipit, alis tebal, dan pipi tirus. “Ini semua gara-gara kamu, Rez,” ucapnya setelah beberapa saat.
“Bukannya gara-gara kamu?” protesku kesal. “Kamu, ‘kan, yang telat bangun, terus dandan seribu jam?”
 “Telat bangun hanya sepuluh menit, kok. Lagi pula, aku dandan tidak sampai seribu jam, kali, tidak usah hiperbolis.” Dia berhenti mengipas, lalu memandangku dengan mata yang sok dibesar-besarkan. “Kamu, ‘kan, yang bawa motor kayak jalannya bebek-bebek lagi rematik?”
Aku ikut-ikutan melotot. “Tadi jalanan macet, Riz, kita harus hati-hati.”
“Bilang saja takut!” Riza mencibir, lalu kembali kipas-kipas. “Kalau aku yang bawa, kita pasti tidak akan diusir kayak tadi. Uh, memalukan!”
“Kalau kamu yang bawa motor,” timpalku, “pasti sekarang kita lagi di UGD.”
“Uh!” Riza membuang muka. Dia pasti menyadari kebenaran kata-kataku, hanya saja gengsinya terlalu tinggi untuk mengakui. Dua kali dia memboncengku ke kampus, dua kali pula kami terjatuh di jalan. Untung saja keduanya hanya menyisakan memar-memar di tangan dan kaki, tapi aku terlanjur trauma dibonceng kembaranku ini. Dia selalu melaju dengan kecepatan tinggi. Dibonceng Riza, tubuhku seolah sedang terbang, dan itu lebih mengerikan dari film horor mana pun di muka bumi.
“Pak Robi juga, sih,” Riza berkata lagi, “telat sepuluh menit saja sudah disuruh ‘tutup pintu dari luar’.” Empat kata terakhirnya itu meniru gaya bicara Pak Robi beberapa menit lalu. “Kayak tidak tahu saja kalau jalanan di kota ini selalu macet!”
“Macet bukan alasan, Riz,” sahutku mengingatkan. “Memang benar, sih, kata-kata Pak Robi tadi. Kalau dia dan teman-teman lain bisa sampai tepat waktu, kenapa kita tidak? Nah, jawabannya, karena kamu telat bangun dan kebanyakan gaya. Lagi pula, kita ini calon guru, memang harus disiplin.”
“Ah, terserah, deh!” sahut Riza cuek. Sesaat kemudian, wajahnya semringah, “Daripada kayak orang bego di sini, mending kita ke kantin, yuk.” Dia menarik tanganku, dan aku menurut dengan mudahnya.

12 Juni 2015
Ada sekitar dua ratus siswa kelas dua belas berkumpul di aula ini, aula SMA Harapan Bangsa. SMA ini merupakan salah satu sekolah swasta yang tingkat kenakalan para siswanya sangat memprihatinkan. Hari ini, seminggu sebelum pengumuman kelulusan, dalam rangka menumbuhkan kesadaran berlalu lintas kepada anak-anak muda, SMA Harapan Bangsa bekerja sama dengan kepolisian daerah, mengadakan penyuluhan terkait ketertiban berlalu lintas. Ada tiga pemateri yang akan menyuluh, salah satunya … aku.   
Sepuluh menit menuju acara. Aku sudah bersiap di atas panggung dengan seragam kepolisianku. Aula seluas setengah lapangan bola kaki ini terdengar riuh rendah. Para siswa ada yang telah duduk tenang di kursi-kursi yang berjajar rapi di hadapanku, ada pula yang masih mondar-mandir, berceloteh dengan suara nyaring, saling lempar kertas, dan ada juga yang asyik di dekat pintu masuk—melihat-lihat sekitar dua puluh helm dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) yang akan dibagikan gratis kepada para siswa yang aktif dalam diskusi nanti. Selain para siswa, telah hadir pula beberapa guru dan staf. Semuanya berpakaian bebas rapi, karena sekarang Minggu. Minggu yang cerah. 
Pandanganku lalu terarah ke sebuah meja besar yang berada di samping kanan tembok aula. Meja itu digunakan sebagai tempat menyimpan kotak-kotak makanan. Seorang perempuan berkemeja biru dengan rok hitam selutut, masuk dari pintu samping, membawa sebuah nampan bundar berpenutup logam ke meja itu. Mataku langsung membulat sempurna diikuti jantung yang berdetak kencang sedetik. Perempuan itu sangat familier di ingatanku. Rambut panjang menyentuh siku, mata sipit, kulit putih, dia … dia perempuan yang menolongku lima tahun lalu. Aku langsung bangkit dari kursi, dan berjalan cepat untuk menghampirinya. Tetapi, pembawa acara yang mulai memanggil para siswa untuk segera mengambil tempat duduk, membuat langkahku terhalang kerumunan. Saat tiba di meja konsumsi ini, perempuan itu telah pergi. Aku langsung menahan seorang siswi, menyebutkan ciri-ciri perempuan yang tengah kucari. 
“Oh,  guru bahasa Indonesia,” sahutnya dengan wajah serius.
“Namanya siapa?” tanyaku tak kalah serius.
Anak di hadapanku ini memandangku dengan tatapan menyelidik, kemudian sudut-sudut bibirnya tertarik. “Cie, cie, Om polisi suka, ya, sama bu guru?”
Aku mengernyit. Alih-alih menjawab pertanyaanku, anak ini langsung berbalik pergi. Aku mengernyit lagi, kemudian menengok ke kiri dan kanan, hingga akhirnya kuseret langkah gontaiku kembali ke kursi.   

23 Agustus 2010
Bapak adalah seorang tukang batu yang lima tahun lalu harus mengurusi kedua anak kembarnya seorang diri. Ibu meninggal karena penyakit asma yang sudah lama dideritanya. Sudah sering Bapak meninggalkan aku dan Riza berdua di rumah untuk urusan pekerjaan. Tadi pagi Bapak pamit untuk mengerjakan sebuah mal di pusat kota. Untuk menghemat biaya transportasi, Bapak hanya akan pulang dua kali seminggu.
“Rez, besok aku pakai motor, ya?” Riza tiba-tiba muncul di belakang kursiku, menepuk pundakku. Aku menutup diktat yang tengah kubaca.
“Untuk apa?” tanyaku penasaran.
“Aku sama anak-anak Full Dance mau ke air terjun yang di Desa Rumba, kamu tahu, ‘kan? Kalau kamu mau ikut, boleh banget, loh. Anak-anak Full Dance seru-seru semua, kok.”
Aku tahu air terjun itu, lokasinya sekitar lima puluh kilometer dari sini. Aku juga tahu anak-anak Full Dance, mereka adalah enam orang cewek-cewek kampus yang suka pop dance, termasuk Riza. “Kita ada ujian tengah semester hari Senin, Riz. Daripada kamu main-main tidak jelas, lebih baik belajar.”
Riza tertawa. “Itu bukan main-main, Rez, tapi refreshing di hari Minggu. Ujian, mah, gampang!” 
Aku mendengus. “Memangnya kamu sudah minta izin sama Bapak?”
“Itu juga gampang!” Riza mengibas rambut panjangnya yang sekarang sudah diluruskan. “Tinggal SMS, beres, deh!”
***
Aku menggeleng putus asa melihat kelakuan Riza di halaman belakang rumah kami. “Kamu apakan motor kita, Riz?” Motor di hadapanku telah kehilangan dua spionnya.
“Cantik, ‘kan?” Riza malah merentangkan kedua tangan dengan senyum mengembang.
Aku terdiam, bingung mau berkata apa lagi. Aku mengenal Riza, kemampuan akademisnya berkategori baik sejak sekolah dasar. Dia cukup mudah menyerap materi yang diberikan guru. Namun, untuk menyerap nasihat-nasihat Bapak tentang keselamatan berkendara, kemampuannya sangat buruk.
“Spion ibarat mata belakang kita saat berkendara, Riz.” Aku membungkuk meraih dua spion yang tergeletak di tanah. “Kaca spion ini bisa mencegah tabrakan dengan pengendara lain.” Aku mendesah. “Memangnya jalan raya punya nenek moyangmu?”
“Jalan menuju air terjun itu sepi, kok, Rez. Tidak banyak orang, tidak akan ada polisi. Aman, pokoknya.”
“Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Riz.” Aku memandangnya dengan ekspresi dingin. “Aman itu kalau kita naik motor pakai helm, spion lengkap, kondisi motor prima, jalannya hati-hati, bawa SIM, STNK.” Aku mulai emosi. “Nih,” kataku seraya mengentakkan kedua spion di jok motor, “pasang kembali atau kutelepon Bapak.” Aku pun berbalik pergi.
“Sewot banget, sih!” teriaknya saat tubuhku mencapai meja makan.
Aku berbalik memandangnya melalui pintu dapur yang terbuka lebar. “Itu karena aku sayang sama kamu, Riz. Itu karena aku kasihan sama Bapak yang kerja banting tulang untuk kita. Kalau terjadi apa-apa sama kamu, Bapak juga yang susah. Tolong, tolong kamu mengerti keadaan kita.”
Dan, hening. Riza tidak lagi membalasku. Kuharap, dia memang sudah menyadari kekeliruannya selama ini.

12 Juni 2015
       “Almarhum Ayah saya adalah seorang polisi. Beliau sangat menginginkan saya—sebagai anak lelaki satu-satunya di keluarga—mengikuti jejaknya. Hingga beliau wafat, saya tidak bisa mewujudkan keinginan itu. Jujur saja, saya ingin menjadi seorang banker, karena itu saya kuliah di jurusan ekonomi.” Aku cukup senang melihat para siswa di hadapanku menyimak. Sejak awal sudah kukatakan bahwa aku tidak akan memberi banyak materi. Aku akan berbagi pengalaman.
“Rumah saya berada di Desa Rumba. Kalian pasti tahu, desa itu terkenal dengan wisata air terjunnya.” Respons kecil kudapat dari hadirin, tidak tertangkap jelas, maka kulanjutkan kata-kataku. “Saat kuliah, saya indekos di dekat kampus, tapi setiap Sabtu saya menyempatkan pulang kampung. Ke mana-mana saya naik motor, begitu juga saat pulang kampung.”
Aku menelan ludah. Ini saatnya berkata jujur tentang kebiasaan burukku di masa lalu. “Dulu, saya bukan pengendara motor yang baik. Saya jarang memakai helm, sering mengebut, kadang-kadang saya juga menerobos lampu merah. Itu bukan hal yang baik, Adik-Adik, jadi jangan ditiru. Jangan ditiru kalau kalian tidak mau menyesal!” Aku sedikit berteriak di depan mikrofon. “Saya sudah mengalaminya, mengalami penyesalan luar biasa. Kalian tahu, saya pernah kecelakaan motor yang membuat saya koma beberapa hari. Bangun dari koma, saya masih harus menjalani serangkaian pengobatan yang menyakitkan dan melelahkan, membuat saya pun harus cuti kuliah selama dua semester. Kerugian itu masih diperparah dengan utang yang harus dipikul keluarga saya demi membayar biaya pengobatan yang jumlahnya menyentuh angka ratusan juta.”
Jeda pendek kubuat untuk menghela napas. Di saat inilah, mataku kembali menangkap sosok penyelamatku saat kecelakaan dulu. Perempuan itu duduk di kursi deretan ketiga dari belakang. Dadaku tiba-tiba saja disesaki kebahagiaan. Lebih tepatnya … lega, karena setelah sekian tahun akhirnya sebentar lagi aku bisa mengucapkan terima kasih padanya. “Kecelakaan itu,” lanjutku, “kecelakaan motor yang menimpa saya saat itu murni kesalahan pribadi. Saat itu … saya tengah melaju kencang. Dari arah belakang, sebuah truk pengangkut kayu mendahului motor saya. Tiba-tiba saja saya berpikir untuk mengejar mobil itu. Bayangkan, betapa bodohnya pikiran dan tindakan saya saat itu. Itu bukan tindakan terpuji, Adik-Adik, itu tindakan cari mati. Saya mengejar mobil itu dan terus mengejar. Pada akhirnya, motor saya tersenggol keras oleh badan truk. Saya terlempar, terlempar, dan terlempar, hingga tubuh saya menabrak sebuah pohon mahoni.”
Aku melihat ke arah perempuan penyelamatku. Dia menunduk. Aku berharap perempuan itu masih mengenali wajahku. “Di bawah pohon itu,” lanjutku, “saya masih sadar, tetapi luar biasa kesakitan. Tempat itu sunyi, dan saya rasa tidak akan diberi napas lagi oleh Tuhan. Di saat itulah saya menyesali semuanya. Saya berjanji, apabila masih diberi kesempatan hidup, saya akan menjadi pengendara yang baik, yang patuh terhadap peraturan lalu lintas. Saya juga berjanji akan menjadi seorang polisi untuk mewujudkan mimpi mendiang Ayah. Lebih dari itu, menjadi polisi lalu lintas bisa membuat saya turut membantu pengguna jalan menikmati perjalanannya agar aman dan selamat sampai tujuan. Bersyukur, sekarang saya bisa mewujudkan janji itu, dan saya tidak menyesal meninggalkan kuliah di ekonomi.”
“Jadi, kalian pasti tahu akhirnya.” Bibirku melengkung tipis. “Ya, ada seseorang yang dikirimkan Tuhan untuk membantu. Orang itu datang dan langsung membawa saya ke rumah sakit. Saya sangat bersyukur atas pertolongannya. Tapi, sampai sekarang kami belum pernah bertemu lagi.”
***
“Oh, ya?” kataku kepada lelaki bernama Bagas yang baru saja mengaku sebagai orang yang kutolong lima tahun lalu. Katanya, dia sangat mengenali wajahku. Sebaliknya, aku tidak mengingat wajahnya. “Kamu yakin?” tanyaku setelah menghabiskan air mineral kemasan di tanganku.
Dia mulai terlihat tidak yakin. “Kamu benar-benar yakin tidak mengenaliku?” Dia balik bertanya, tampak agak kecewa.
“Sebenarnya, aku punya kembaran,” kataku dengan ekspresi murung. “Wajah kami identik.”
“Oh, ya?” Sekarang, Bagas-lah yang tampak kaget. “Apa mungkin—?”
“Dia sudah meninggal,” timpalku. “Dia meninggal satu hari setelah kecelakaan yang menimpamu.”

24 Agustus 2010
Dering ponsel di kantung apron yang tengah kukenakan membuatku menghentikan sejenak kegiatan mengiris-iris kacang panjang. Riza yang menelepon. Aku semringah. Ternyata, dia mengingat pesanku untuk langsung mengabari saat telah tiba di lokasi air terjun.
“Iya, saya Reza, saudara kembar Riza.” Kenapa orang yang menelepon justru tidak yakin dengan nama orang yang dia telepon? “Maaf, dengan siapa? Mm, Riza mana, ya?”
“I-ini temannya Riza di Full Dance.” Suara perempuan di seberang terdengar ragu-ragu. “Riza … Riza kecelakaan, motornya tabrakan dengan mobil. Sekarang … dia baru saja masuk UGD di puskesmas Desa Rumba. Tidak ada rumah sakit di sini.”
“Kenapa bisa? Apa yang terjadi?” Suaraku bergetar hebat. Kurasakan mataku basah.
“Riza melaju kencang,” sahut perempuan di seberang. “Dari arah berlawanan, sebuah mobil juga melaju kencang. Dan, tabrakan pun terjadi. Semua terjadi begitu cepat.”
Aku mendengar penjelasan demi penjelasan perempuan di seberang dengan tubuh lemas, dada sesak, dan jantung yang sesekali berdesir takut. Setelah menutup telepon, aku langsung melepas apron, meraih dompet, memakai topi cokelat, mengunci pintu rumah, dan langsung kularikan tubuh mencari ojek. Aku harus segera sampai di tempat rental mobil.
Dan, di sinilah aku setelah tiga puluh menit yang alot, duduk di depan kemudi sebuah mobil sedan putih tulang. Mobil kupacu dengan kecepatan sedang. Mengendarai mobil bukan hal sulit untukku. Setahun lalu aku ikut kursus (dan telah lulus ujian mengemudi) dengan alasan ingin menambah pengetahuan berkendara. Nyatanya, hari ini, keinginan iseng itu memiliki manfaat.      
Aku terus memacu mobilku. Saat ini, rasanya, sudah nyaris setengah perjalanan. Di benakku hanya ada keinginan untuk segera membawa Riza ke rumah sakit provinsi. Tiba-tiba, dari jarak sekitar sepuluh meter, kulihat sebuah motor tergeletak di pinggir jalan. Mula-mula adalah motor, lalu … tubuh seseorang.
Seketika saja serangan bimbang melandaku. Aku bimbang. Sangat bimbang.

12 Juni 2015
“Aku turut berduka cita,” kataku seraya menghentikan langkah di bawah sebuah pohon. Reza turut berhenti di sisiku. Aula telah beberapa puluh meter di belakang kami. “Apa saudara kembarmu meninggal … karena terlambat ditangani? Maksudku, apa karena kamu mengantarku lebih dulu ke rumah sakit provinsi, jadi saudaramu—”
“Tidak,” selanya lirih. “Tidak seperti itu.” Dia menunduk sempurna, kutahu ada kesedihan yang hendak dia sembunyikan. “Kurasa, lebih tepatnya adalah … karena orang-orang selalu terlambat menyadari akibat-akibat fatal dari kebiasaan buruk yang melekat di dirinya masing-masing, dalam hal apa pun, termasuk dalam hal berkendara.”
“Ya,” sahutku membenarkan ucapannya. “Aku tidak pernah berpikir panjang saat dulu kebut-kebutan di jalan. Aku terlalu sok saat itu. Sok hebat, sok bisa melaju paling kencang, padahal jalanan bukan untuk adu kecepatan.” Aku tertawa sinis, mengejek diri sendiri.
Reza mengangkat wajahnya. Kabut kehilangan tampak jelas di mata sipitnya. “Riza sudah kritis saat dibawa ke puskesmas. Saat aku tiba pun, dokter tidak menyarankan Riza dibawa ke rumah sakit lain. Kondisinya masih lemah untuk sebuah perjalanan darat puluhan kilometer.”
Sesaat hening. Saat kuangkat sedikit kepalaku, baru kusadari bahwa pohon tempat kami kini bernaung adalah juga mahoni, pohon yang sama dengan titik tempat Peristiwa Besar-ku terjadi lima tahun lalu.
“Aku minta maaf,” katanya seraya memandangku sekilas.
Aku seketika merasa tidak enak. “Minta maaf untuk apa? Tidak perlu. Justru seharusnya akulah yang minta maaf.”
Seolah tidak mendengar kata-kataku, Reza menambahkan, “Aku minta maaf karena waktu itu langsung meninggalkanmu di rumah sakit. Aku juga minta maaf karena tadi tidak langsung mengiyakan bahwa aku pernah menolongmu—”
“Oh, kamu sangat baik,” tukasku dengan penuh kejujuran. “Apa yang bisa kulakukan untuk membalas semua kebaikanmu, Rez?”
Reza memandang beberapa lembar daun mahoni yang terjatuh, lalu berkata, “Jadilah polisi lalu lintas yang bermartabat. Bekerjalah semaksimal mungkin untuk menghindari semakin banyak korban di jalanan. Aku yakin itu mudah untukmu, karena kamu bekerja dari hati.”
Disaksikan sebatang pohon, lagi-lagi adalah mahoni, aku berjanji pada Reza, perempuan penyelamatku lima tahun lalu, bahwa aku akan melakukan keinginannya itu. Melakukannya sepenuh hati.  

*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com