Rabu, 11 Juni 2014

[RESENSI NOVEL (BUKAN) SALAH WAKTU]

Trauma, Cinta Lama, dan Nasib Rumah Tangga
Resensator: Susi S. Idris


Judul Buku       : (Bukan) Salah Waktu
Pengarang        : Nastiti Denny
Penerbit           : Bentang Pustaka
Cetakan           : Pertama, Desember 2013
Tebal               : viii + 248 halaman   
ISBN               : 978-602-7888-94-4

Mempertahankan keutuhan rumah tangga yang dipenuhi berbagai masalah, bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi jika permasalahan tersebut disebabkan oleh ketidakjujuran dan orang ketiga. Hal tersebutlah yang dialami Sekar dan Prabu, tokoh utama dalam novel (Bukan) Salah Waktu karya Nastiti Denny. Rumah tangga Sekar dan Prabu tak lagi harmonis ketika satu demi satu rahasia keduanya terkuak.
Semua bermula saat Prabu mengetahui bahwa Sekar merahasiakan status orangtuanya yang telah lama bercerai. Prabu sangat kecewa dengan sikap tidak jujur istrinya itu. Jarak pun mulai terlihat di antara keduanya. Seiring kondisi tersebut, Bram hadir mengatakan kepada Sekar bahwa ayah Prabu telah menghancurkan kehidupan keluarganya. Prabu juga telah memiliki anak dari Laras, kekasih Prabu saat SMA.
Demi membuktikan perkataan Bram, Sekar mengintai Prabu saat bekerja di luar kota. Pada pengintaian itu, Sekar menyaksikan sendiri kedekatan suaminya dengan Laras. Sekar kemudian memilih menenangkan diri dengan menginap di rumah mamanya. Rumah yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dikunjunginya, karena Sekar yakin mamanya tidak pernah mengharapkan kedatangannya. Namun, dugaan Sekar ternyata salah. Melalui Mbok Ijah, Sekar akhirnya tahu bahwa kehadirannya di rumah tersebut selalu dinantikan oleh mamanya.
Dalam masa-masa menenangkan diri di rumah tersebut, Sekar masih saja didera trauma yang di awal novel telah dikisahkan. Trauma Sekar disebabkan oleh ketidakharmonisan hubungan kedua orang tuanya di masa lalu. Melihat Sekar suatu hari bersembunyi di bawah meja makan sebagai akibat dari traumanya, mama Sekar akhirnya mengungkapkan sebuah rahasia kepada Sekar.
Di sisi lain, Prabu yang menunggu kepulangan istrinya, terus dilanda kekalutan. Kabar bahwa ayahnya adalah penyebab ayah Laras bunuh diri, cukup membuatnya kaget. Begitupula kabar bahwa Wirendra adalah anaknya bersama Laras. Prabu pun pasrah. Ia menyerahkan nasib rumah tangga mereka kepada Sekar.
Tuntas membaca (Bukan) Salah Waktu, terasa bahwa judul novel dan gambar jam di sampul sangat mewakili keseluruhan cerita. Blurb-nya pun tidak memberi keterangan berlebihan (hanya berupa gambaran perasaan Sekar) yang cukup membuat penasaran. Selain itu, novel ini sangat minim kesalahan penulisan atau masalah tipografi, sehingga sangat nyaman dibaca.
Novel (Bukan) Salah Waktu disajikan dengan deskripsi yang begitu detail, terutama mengenai latar tempat dan suasana. Meskipun alurnya kurang memiliki konflik tajam, namun novel yang mengetengahkan permasalahan keluarga (trauma seorang anak dan cinta lama seorang suami) ini tetap asyik untuk dituntaskan.
Sedikit kekurangan novel ini adalah mengenai chemistry Sekar dan Prabu yang kurang terasa. Sebelum konflik utama dihadirkan, nyaris tidak ada gambaran keromantisan hubungan antara Sekar dan Prabu, sehingga pembaca mungkin saja sulit merasa “iba” saat rumah tangga keduanya didera masalah. Namun, ada satu bagian yang cukup “menolong” kekurangan tersebut (meskipun kehadirannya hampir di bagian akhir, tetapi sangat berkesan), yaitu saat Prabu meluapkan kerinduannya pada Sekar dengan cara menuliskan beberapa hal tentang istrinya di potongan-potongan kertas (hlm. 168-169). Selain bagian tersebut, chemistry Sekar dan Prabu kurang terasa dalam keseluruhan cerita. Apalagi di bagian akhir (penyelesaian) cerita, Nastiti justru fokus pada anak Prabu bersama Laras dan mengabaikan komunikasi antara Sekar dan Prabu yang tentu dinantikan pembaca.
Akhirnya, sebagai naskah pilihan pemenang lomba menulis “Wanita dalam Cerita”, novel ini memang tidak mengecewakan. (Bukan) Salah Waktu mengandung banyak pesan bermanfaat: kesetiaan, kejujuran, dan keikhlasan memaafkan.