Sabtu, 21 November 2015

[Esai] Kekayaan Ekspresi dalam Upaya Mencuri Hati

Karya Susi S. Idris

Foto diculik legal dari sini

Lagu adalah gudangnya ekspresi tokoh utama yang sebagian besar hanya diberi tanda pengenal “aku” oleh sang musisi. “Aku” akan menyebut-nyebut “kamu”, “dia”, “kekasih”, “mantan”, “keong”, “kucing”, dan sejenisnya, untuk berbagai rasa yang dia alami. Rasa yang dialami tokoh utama tersebutlah yang mampu menghadirkan lagu bernuansa gembira, pembangkit semangat, hingga yang melankolis.

Berbicara tentang lagu bernuansa melankolis, Ada Band, grup musik kelahiran 18 November 1996 ini, dikenal sebagai salah satu band Indonesia pencetak lagu-lagu melodramatis yang sulit terlupakan. “Surga Cinta”, “Haruskah Kumati”, “Manusia Bodoh”, “Setengah Hati”, “Masih Adakah Cinta”, “Sendiri”, “Takkan Bisa”, adalah beberapa di antaranya. Dua judul lagu terakhir (yang saya sebut) berada di album Empati, album yang menandai eksplorasi bermusik band fenomenal ini, sehingga dua lagu tersebut—meskipun dibalut dengan irama rock—tetap memperlihatkan tanduk melankolisnya. 

Lagu yang melankolis memang tidak selamanya hadir dengan balutan musik lembut dari denting piano, petikan gitar akustik sepanjang lagu, gesekan biola yang dramatis, juga taburan lirik-lirik puitis. Ada Band, band yang sudah 19 tahun mengukir eksistensi di belantika musik Indonesia ini, membuktikannya kembali (dan lebih berani) melalui single “Kucuri Lagi Hatimu”, single perdana mereka di album ke-13 yang pada 19 November 2015 diputar perdana di 180 radio seluruh Indonesia. Albumnya (judul belum dipublikasi) direncanakan rilis pada awal 2016. Tunggulah sambil terus layangkan request untuk “Kucuri Lagi Hatimu” di radio-radio kesayangan, bisa juga sambil menabung, atau sambil berdoa: tidak ada toko CD yang kembali gulung tikar.

“Kucuri Lagi Hatimu” adalah lagu yang ingar-bingar, cukup berisik, musik disko mengalun sepanjang tiga menit dua puluh sekian detik. Selain itu, lagu yang diciptakan Dika, sang basis ini, memiliki lirik yang lugas. Saking lugasnya, bila kita membaca liriknya (dan belum mendengar lagunya), kita akan skeptis dan mulai memendam praduga, “Bagaimana mungkin lirik selugas ini menghadirkan lagu melankolis yang menghangatkan hati?”

Jawabannya adalah kepiawaian! Kita patut menjura kepada orang-orang di depan maupun di belakang Ada Band: Donnie (vokalis), Dika (basis), Marshal (gitaris), Adhy (drumer), dan para kerabat kerja. Semua bekerja dengan maksimal untuk lagu ini.

Jadi, kepiawaian Ada Band dalam mengemas “Kucuri Lagi Hatimu” adalah: (1) Memanfaatkan kekhasan suara sang vokalis. Vokalis satu ini, apabila suaranya dibahas, akan menghabiskan satu rim kertas HVS. Suaranya lembut, sesekali serak, gumaman dan napas di ujung kata seringkali semacam instrumen tersendiri. Pelafalan kata-kata tertentu (biasanya yang mengandung huruf d, g, dan s), Donnie punya “nadanya” sendiri. Di lagu ini, kekhasan tersebut sangat kentara. Suara Donnie cukup ditonjolkan sehingga mampu mengimbangi musik yang ingar-bingar. (2) Pemilihan ritme (tinggi rendah alunan kata, keras lembut tekanan) yang sangat variatif. Ada kata yang diteriakkan, ada kata yang diucapkan tegas, ada kata yang cenderung lembut penuh harap. (3) Adanya pemenggalan kata-kata tertentu dalam satu kalimat. Dengarkan lirik berikut: Salahku … meninggalkanmu. Andaikan … kucuri lagi hatimu. Kamulah … harta yang paling indah. Jeda dua detik menimbulkan aura sendu tersendiri di lagu ini.

“Kucuri Lagi Hatimu” berkisah tentang “aku” lirik yang menyesali kesalahannya di masa lalu terhadap “mu”. Seiring penyesalan tersebut, “aku” mendambakan “mu” kembali menjadi miliknya. “Aku” didera rindu, didera gelisah, semua karena rasa sayang yang masih ada. Dengarkan lirik pembuka berikut: Gelisah merindukan pelukmu. Salahku meninggalkanmu, oh kasihku. Maafkan salahku dulu. Aku sayang kepadamu. Sekilas, liriknya memang lugas, tepat seperti gambaran cerita. Namun, tunggu dulu, pencipta lagu ini membuat kejutan melalui refrain berikut: Andaikan kucuri lagi hatimu. Percayalah hanya padamu, cintaku. Kamulah harta yang paling indah. Kejutannya mana? Ada di kata “andaikan”. Kata pengandaian tersebut menimbulkan dramatisasi tersendiri di lagu ini, selain suara, nada, dan musik (yang sudah saya bahas di awal).

Coba resapi berkali-kali lirik andalan tersebut: Andaikan kucuri lagi hatimu, hingga saat mendengar Donnie melantunkannya, pastilah kita akan terbawa suasana sendu perasaan si “aku”. Tokoh utama tersebut sudah mengakui kesalahannya, sudah mengucapkan maaf, namun untuk mencuri lagi hati si “mu”, “aku” masih harus berandai-andai. Mungkinkah kesalahan “aku” di masa lalu memang sulit untuk diberi kesempatan kedua?

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa hampir di setiap kata “andaikan” pasti ada penyesalan atau harapan besar yang mengikutinya. Andaikan kucuri lagi hatimu. Percayalah hanya padamu, cintaku. Dalam konteks lirik tersebut, “aku” sudah percaya diri bahwa dia bisa (kembali) memberi cinta seutuhnya kepada “mu”, namun sayangnya semua itu tidak ada artinya karena hati “mu” belum kembali tercuri.  

“Kucuri Lagi Hatimu” memang lagu yang kaya ekspresi tokoh utamanya. Sejak di lirik pertama, ungkapan perasaan “aku” sudah dihadirkan kepada pendengar. Ada kegelisahan karena merindukan pelukan. Ada kesadaran tentang kesalahan yang mewujud permintaan maaf. Ada rasa cinta yang begitu besar. Ada harapan untuk kembali bersama. Ada keinginan untuk menjaga dan selalu menyayangi. Ada kejujuran bahwa “mu” adalah harta yang paling indah, dan ada bayangan yang terus mengusik. Selalu membayangkan wajahmu, kata “aku”. Terbawa di setiap waktu dan mimpiku.

Lepas dari kekayaan ekspresi tokoh utama dalam lagu ini, selayaknya sebuah karya, kreatorlah yang kekayaan ekspresinya begitu melimpah. Ketiadaan nada menjadi ada. Hal-hal yang biasa menjadi luar biasa. Ada Band layak mendapat apresiasi setinggi-tingginya atas kelahiran single perdana “Kucuri Lagi Hatimu” ini. Mereka berhasil menghadirkan lagu bermusik disko yang tetap terasa aura melankolisnya. Meski melankolis, sesekali kita akan dibuat bergoyang kecil. Meski sambil bergoyang, hati kita akan tetap terhunjam oleh ungkapan perasaan “aku” yang begitu tulus untuk kembali mencuri hati sang kekasih.

“Kucuri Lagi Hatimu” adalah lagu dengan komposisi kegalauan yang menumbuhkan energi positif. Melalui lagu ini, kita akan belajar untuk tidak menyia-nyiakan orang yang menyayangi kita dengan tulus. Sebab, pada akhirnya, “kekasih” yang tuluslah yang selalu dirindukan “mantan”.
      
Akhirnya, kepada siapa pun yang belum mendengar single “Kucuri Lagi Hatimu”, ayolah setel radio kalian, lalu request sebanyak-banyaknya (di setiap frekuensi bila mampu). Kepada Ada Band, terus berkarya untuk Indonesia! Terus tebarkan inspirasi, motivasi, dan kebahagiaan, kepada penikmat musik di mana pun berada, seperti yang sudah kalian mulai sejak 1996. 

Salam. :)

Jumat, 20 November 2015

[Cerpen] Cinta Membawaku Pulang

Karya Susi S. Idris

Sebelas jam lalu, guncangan hebat menyerang pertahananku. Gempa di depan mata seketika menjalar ke dada, membuat limbung, membuat segala kecurigaan bersorak menang. Aku berlari dengan air mata yang berhasil menggelincirkanku ke masa tiga tahun lalu saat aku juga lari dari rumah, tetapi saat itu mataku berbinar. Oh, perasaan hancur kini mengepung. Melumpuhkan. Memenjarakan.
Aku sembunyi sebagai perempuan patah hati di kamar hotel yang gelap ini. Lampu padam. Gorden menutup jendela kaca secara sempurna, sedikit cahaya berasal dari sinar pagi yang menerobos ventilasi. Sudah pagi dan aku masih saja menangis di tempat tidur.
Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang istri selain mendapati suaminya selingkuh. Aku kini tahu rasanya dibuang, direndahkan, rasanya seperti ingin mati. Bersamaan dengan kenyataan menyakitkan itu, dering ponsel menginterupsi. Suara di seberang terdengar sendu dan penuh harap. Guncangan lain hadir. Anakku sakit. Anak yang sudah tiga tahun kutinggalkan, memanggil ibunya dalam sakit. “Pulanglah, Rin, demi anakmu,” kata Mas Haris sepuluh jam lalu. “Devan sangat merindukan ibunya.”
Konsep pulang menjadi sangat tidak pantas kupraktikkan. Bagaimana mungkin kakiku kembali ke rumah yang nyaris sembilan tahun kutinggali dengan sumpah serapah? Bagaimana mungkin orang-orang yang sudah kucampakkan malah menginginkan kehadiranku?
Mereka tidak tahu bahwa aku baru saja dicampakkan lelaki yang selama tiga tahun ini kubanggakan. Bagaimana jika mereka tahu?
●●●
Menyingkirkan segala egoisme, tepat dua hari setelah telepon Mas Haris, akhirnya hari ini aku kembali ke Kendari, kota yang menyimpan banyak kenangan bersama mantan suami dan anak semata wayangku. Bagaimana pun, masa pacaran dan masa awal pernikahan, adalah hari-hari yang menyenangkan. Pada akhirnya, aku kalah oleh sifat materialistis di diriku. 
Kuberikan koperku kepada sopir taksi untuk dimasukkan ke bagasi mobilnya, dan aku hanya mematung di sisi mobil. Setelah lelaki tinggi kurus itu kembali di depan kemudi, barulah aku bergerak, masuk ke kursi penumpang dengan tas Gucci di genggaman. Ini terasa sesak. Setelah perjalanan udara sekitar satu jam lebih, sekarang adalah perjalanan darat yang kurasa tidak akan lebih dari dua puluh menit. Dua puluh menit lagi aku sampai? Aku menurunkan kaca jendela. Kecemasan semakin menyesakkan.  
“Ke mana, Mbak?” Sopir taksi bertanya setelah memasang sabuk pengamannya.
“BTN Wirabuana,” kataku sembari mengempaskan tubuh ke sandaran jok. Mobil pun mulai melaju, meninggalkan pelataran Bandara Haluoleo ini.
Tiga tahun kuhabiskan waktu bersenang-senang di Jakarta tanpa pernah memedulikan anakku. Seorang duda tanpa anak yang usianya lebih tua delapan belas tahun dariku, menginginkanku menjadi istrinya setelah melihatku bernyanyi di sebuah acara pernikahan. Aku luar biasa senang dan merasa beruntung. Meskipun duda dan setengah baya, lelaki itu adalah seorang pengusaha yang restorannya memiliki puluhan cabang di Indonesia. Aku tidak perlu lagi susah-susah bernyanyi untuk mendapatkan tas atau baju bermerek, untuk mendapatkan segala kemewahan yang telah lama kudambakan. Sebab, bersama Mas Haris, aku hanya hidup dalam keterbatasan ekonomi, yang dengan entengnya dibantah lelaki itu. “Kehidupan kita sudah lebih dari cukup, Rin. Kita harus pandai bersyukur, pandai mengelola keuangan. Harta yang banyak pun akan habis jika tidak dikelola dengan baik.”
Aku muak dengan nasihat bijak seperti itu. Aku muak dengan Mas Haris yang setiap bulan hanya bisa memberi tiga juta lima ratus ribu untuk biaya hidup. Aku muak dengan lelaki yang tidak mau menjual tanah warisan orang tuanya untuk mengganti motor kami dengan mobil, untuk mengganti BTN dengan rumah mewah, untuk membelikanku barang-barang bermerek. Aku muak, maka seluruh kemuakan itu langsung kujadikan tombak untuk menggugat cerai Mas Haris. Bukan itu saja, aku bahkan lancang mengatakan bahwa telah ada lelaki lain yang kucintai. Lelaki yang seratus kali lebih mapan dari Mas Haris.
Meski keinginan bercerai bukan pertama kali kuungkapkan saat itu, Mas Haris tetap kaget dan sangat terpukul dengan keputusanku. Dia meminta aku tenang, sabar, dan berpikir ulang. Dia memberiku nasihat demi nasihat, terutama untuk  membuka mataku bahwa harta bukanlah kunci utama kebahagiaan. “Mewah adalah kesederhanaan yang dibalut kebersamaan, Rin. Kebersamaan dengan orang-orang yang menyayangi kita sepenuh hati.” Sebagai guru BK di sebuah SMA, Mas Haris punya ribuan kalimat bijak, yang seringkali melegakan, tetapi lebih sering menjengkelkan bagiku.
Kenyataannya, Mas Haris benar. Meski tiga tahun aku hidup dalam kemewahan, tidak sedikit pun kuraih kasih sayang keluarga. Suamiku datang hanya di saat dia menginginkan pelukan, sedangkan ibu mertuaku yang entah mengapa sangat benci padaku, selalu membuatku terlihat rendah di mata orang lain. Beberapa teman sudah sering melaporkan keberadaan perempuan lain suamiku, tetapi aku berusaha untuk tidak memercayai mereka. Sesungguhnya, hati kecilku memendam banyak kecurigaan, keresahan, tetapi semuanya tertutupi oleh ketakutan. Aku takut segala kemewahan yang diberikan suamiku, direnggut kembali dalam sekejap. Direnggut oleh kenyataan buruk: perselingkuhan.
Dua hari lalu, kenyataan itu menampakkan diri. Seorang teman mengirimkan alamat hotel tempat suamiku (katanya) berkencan. Saat memergoki suamiku dengan seorang perempuan di tempat tidur, kukira dia akan menyesal, karena sebenarnya aku sudah siap membukakannya pintu maaf. Ternyata, suamiku malah memaki, mengataiku tidak tahu diri, dan dengan entengnya dia langsung melontarkan kata cerai.
Menyakitkan!
Tanpa kusadari, ingatan-ingatan itu membuat pipiku kini basah oleh air mata. Mula-mula menetes tanpa suara, lalu isakan lolos dari mulutku. Sopir di depan kemudi menoleh kecil, “Maaf, Mbak," tegurnya, "ada masalah?”
“Tidak,” kataku bohong. Masalahku banyak, pelik, dan semuanya terjadi karena kebodohan dan keserakahanku. Betapa malunya untuk kuberitahu ke orang asing.
●●●
Kusandarkan punggung di tembok rumah bercat jingga ini. Di sampingku terbingkai dua jendela berkaca riben, dan di samping jendela ada pintu kayu bercat cokelat tua yang saat ini tertutup rapat. Segalanya masih sama dengan yang dulu, setidaknya di bagian depan rumah Mas Haris ini. Aku mendesah saat melihat bunga-bunga di pekarangan yang tumbuh subur. Asoka, mawar, kembang sepatu, kaktus, aneka palem, semua kian merindangkan rumah kecil berlantai satu ini. Dulu sekali, aku dan Mas Haris sering merawat bunga bersama-sama, setelah itu kami meminum teh di kursi taman—yang hingga sekarang masih setia di posisinya, di sudut kanan pagar, tepat di hadapanku saat ini.
Pukul 15.10 di ponselku. Suasana sepi, tetapi dari motor merah yang terparkir di bawah pohon mangga samping rumah, aku yakin Mas Haris dan Devan ada di dalam. Kata Mas Haris, Devan dirawat seminggu di rumah sakit karena demam berdarah. Selama di rumah sakit hingga dipulangkan empat hari lalu di rumah ini, Devan selalu memanggil-manggil ibunya. Aku! Dan, aku masih mengumpulkan keberanian untuk sekadar mengetuk pintu.
Derit pintu pagar lalu terdengar. Bersamaan dengan itu, seorang perempuan yang kutaksir seusia orang tuaku masuk ke pekarangan dengan kantung plastik di kedua tangannya. Aku langsung berdiri tegak. Pandangan kami saling beradu, hingga akhirnya perempuan gemuk berjilbab sepinggang itu tersenyum dan berkata dengan nada bertanya, “Ibunya Devan?”
“I-iya,” kataku kikuk. Aku belum pernah bertemu perempuan ini sebelumnya, tetapi dia mengenalku.
“Bapak sama Devan ada di dalam,” ucapnya seraya membuka pintu. “Ayo masuk, Bu, saya kerja bersih-bersih di sini, dua kali seminggu. Ibu bisa panggil saya Bibi.”
Oh, ya, Mas Haris tentu tidak bisa mengurus rumah ini sendirian. Aku menarik koperku, mengikuti Bibi masuk. “Saya tadi baru dari sini,” terangnya. “Pas sampai rumah, lihat banyak semangka, langsung ingat Devan. Kebetulan, rumah saya hanya lima ratus meter dari sini.”
Aku teringat bahwa Devan sangat menyukai semangka. Semoga beberapa pakaian di koper, bisa menjadi oleh-oleh yang juga disukai bocah sepuluh tahun itu.
“Ayo duduk, Bu. Saya panggil Bapak dulu.” Kedatanganku hari ini memang tidak kuberi tahu sebelumnya kepada Mas Haris. Aku tidak mau ditunggu di pekarangan seperti kebiasaan Mas Haris dan Devan saat aku masih jadi penyanyi di berbagai acara.
“Rin, kamu datang, Rin?” Aku mendongak. Sosok tinggi tegap yang seusia denganku—36 tahun—mendekat. Tidak ada yang berubah dari wajahnya. Kumis dan janggut tipis masih dipertahankannya hingga kini. Tubuh sawo matangnya dibalut kaus cokelat pudar dan celana kain selutut yang sangat kukenali. Oh, kenapa aku tidak berpikir untuk membawakannya oleh-oleh?
Aku langsung berdiri dan menjabat tangannya. “Devan mana, Mas?” tanyaku mengalihkan pembicaraan agar pembahasan tentang kepulanganku, tidak berlanjut. Mas Haris mengatakan Devan ada di kamarnya. Aku minta izin untuk menemuinya, dan Mas Haris mengingatkan bahwa Devan “anak kami”. Sungguh, aku merasa buruk mendengar itu. Aku bukan ibu yang baik.    
“Ibu?” Devan terkejut saat melihatku di ambang pintu kamarnya. “Ibu, Ibu datang?” Dia segera turun dari tempat tidur, dan langsung mendaratkan pelukan ke tubuhku. Sesaat, kudengar isakannya. Aku langsung mendekap kepalanya yang tepat mencapai bahuku. Oh, anak lelakiku sudah setinggi ini. “I-Ibu ke mana saja?” Dia bertanya di antara tangisnya. Pertanyaan itu membuatku tergugu, hingga akhirnya aku ikut menangis. “Bu, jangan pergi lagi, ya? Devan rindu sama Ibu.”
Oh, apa yang sudah kuperbuat selama tiga tahun ini? Aku pergi tanpa pernah memikirkan perasaan anakku. “Iya, Nak, kita akan selalu sama-sama.”
“Sama Ayah juga,” sahutnya seraya melepas pelukan. Tidak, Nak. Tidak bisa. Aku mengusap-usap rambutnya. Ibu banyak salah sama ayahmu.
●●●
“Kamu di mana, Rin?” Suara di seberang terdengar geram. Setelah mengabaikan tiga deringan, akhirnya telepon ini kuangkat. Dan, sesuai dugaanku, peneleponku marah besar. “Kenapa pergi dari rumah, ha? Dasar tidak tahu diri!”
“Kamu sudah menceraikanku, Lex.” Aku mengingatkannya. “Tinggal daftar di pengadilan, ‘kan? Jadi, siapa yang mau menggugat? Kamu? Aku?”
“Tidak ada gugatan!” tukas Alex tajam. Aku mengatur napas karena kaget. “Aku masih menginginkanmu, Airin.” Suara Alex kini terdengar lebih bersahabat, aku mulai bernapas lega. “Ayo, pulanglah, nanti kukenalkan sama perempuan yang bersamaku di hotel beberapa hari lalu. Rencananya, dia akan kujadikan istri kedua.”
“Kamu gila, Lex!” Aku sontak berteriak. “Kamu mau menikah lagi? Kamu pikir aku mau dimadu?”
Alex di seberang tertawa. “Kupikir memang seperti itu, Perempuan Matre. Kamu tahu, ‘kan, apa yang akan terjadi kalau kamu bercerai denganku? Kemiskinan! Aku tidak akan membiarkanmu memiliki sepeser pun dari kekayaanku.”
Aku terpaku memandangi lantai tehel di kamar Devan yang sempit ini. “Kenapa diam?” Alex kembali berujar. “Oh, perlu waktu berpikir, ya? Baiklah, dua kali dua puluh empat jam untuk istri seksi sepertimu. Tapi, aku yakin kamu akan kembali ke pelukanku.”
Bersamaan dengan putusnya sambungan telepon, tubuhku langsung merosot di lantai. Aku duduk memeluk kaki dengan punggung yang bersandar pada sisi kanan tempat tidur. Ini dilematik. Kalau aku memilih bercerai dengan Alex, hidupku akan kembali susah. Tidak ada lagi arisan tas-tas bermerek, tidak ada lagi pesta sambil merumpi dengan istri-istri pengusaha, tidak ada lagi liburan ke luar negeri, tidak ada lagi mobil mewah, tidak ada lagi segala kemewahan. Aku akan hidup bersama Devan dengan uang dari hasil menyanyi. Oh, menyanyi di acara-acara pernikahan bukan pekerjaan bergaji besar. Lagi pula, apa masih ada yang menginginkan suaraku? Tetapi, kalau aku bertahan jadi istri Alex, apa aku kuat menghadapi perempuan lain di lingkaran kami? Apa aku bisa terus bertahan dari sifat Alex yang hanya menjadikanku pemuas nafsunya? Apa aku sanggup terus-menerus direndahkan oleh ibu mertuaku?
Apa aku mencintai Alex? Tidak. Selama ini aku hanya hidup dalam kepura-puraan.
Ponselku kembali berdering. Di layar yang berkedip-kedip tampak nama salah seorang teman arisanku. “Hoi, Jeng,” sambarnya, “kamu sibuk memasak, ya? Sejak kapan?” Terdengar suara tawa beruntun  di seberang. “Masa lupa, sih, sama pestaku? Tinggal kamu, nih, yang belum datang—” Aku langsung memutus sambungan. Aku bangkit dari duduk, dan langsung menuju dapur. Sekitar tiga jam lagi Mas Haris dan Devan pulang dari sekolah. Aku harus … aku harus memasak sesuatu.
●●●
“Padahal, aku berencana mengajakmu dan Devan makan di luar.” Mas Haris menarik kursi di hadapanku. “Ternyata kamu masak.” Dengan wajah semringah, dia meneliti piring-piring di meja.
Aku tersenyum tawar. “Kebetulan banyak bahan makanan di kulkas, Mas.”
“Oh, ya, Bibi mengisinya kemarin pagi.” Aku menurunkan bulu mata saat pandangan Mas Haris berserobok dengan pandanganku. “Mm, kamu baik-baik saja?” Aku langsung terbeliak mendengar pertanyaan itu. “Kamu kelihatan murung,” terangnya. “Apa … apa ada masalah?”
“Aku harus pergi dari sini,” kataku lirih. “Aku tidak pantas di sini.”
“Kamu minta izin berapa hari dengan suamimu?”
“Tidak, bukan tentang itu, tapi—”
“Bu,” Devan muncul sambil memakai baju kaus yang kemarin kubawakan. “Bibi sudah pulang, ya?”
“Bibi tidak datang, Dev,” sahut Mas Haris.
“Jadi,” Devan duduk di sampingku, “makanan ini dibeli di mana?”
Mas Haris menyahut lagi, “Semua ini buatan ibumu.”
“Wah!” Devan membuka piringnya yang telungkup. Aku langsung menyendokkan nasi ke piring itu. Sesaat kusadari bahwa dia memandangku intens. “Ibu cantik, lebih cantik dari yang difoto.” Aku refleks tersenyum. “Dan, ternyata Ibu sangat baik, padahal aku pernah menganggap Ibu tidak baik. Maaf, ya, Bu?” 
Aku serta-merta menyimpan piring di tanganku, langsung mencondongkan tubuh untuk memeluk Devan. Ibu mana yang tidak  terenyuh dengan perkataan polos seperti yang baru saja diucapkan Devan? “Ibu yang minta maaf, Nak.” Aku mengecup puncak kepalanya. “Ibu yang banyak salah sama kamu dan ayahmu.”
●●●
“Tidak ada orang yang luput dari kesalahan, Rin, jangan menyalahkan diri sendiri secara berlebihan.” Percakapan berlanjut sejak sepuluh menit lalu di kursi taman ini, antara aku dan Mas Haris. Berhadapan sepuluh menit dengan Mas Haris, aku tidak kuasa menutupi keadaan rumah tanggaku dengan Alex. Aku baru saja mengatakan tentang perselingkuhan lelaki itu, dan sekarang aku menangis sambil mengungkit-ungkit bahwa yang terjadi saat ini adalah balasan atas perbuatanku tiga tahun silam. “Tenanglah, kamu harus tenang. Ini bukan hukuman. Ini pelajaran untuk kita semua.” Kurasakan tangan mantan suamiku ini menepuk pelan pundakku. 
Aku mengusap wajah dengan tisu, serta-merta berusaha menghentikan tangisanku. Devan sedang tidur siang di kamarnya. Dia tidak boleh terbangun dan mendapatiku bersedih seperti ini. “Kupikir, uang adalah segalanya,” kataku lirih sambil menunduk. “Uang yang banyak, harta yang melimpah, barang-barang mewah, semuanya hanya menghadirkan kebahagiaan sesaat. Aku merasakannya, Mas. Hatiku rasanya kering, jiwaku kosong, semua karena tiga tahun ini aku jauh dari orang-orang yang menyayangiku dengan tulus.”
Kudengar Mas Haris mendesah ringan. “Aku senang kamu sekarang sudah memahaminya, Rin. Kita memang butuh uang, tapi tidak lantas kita harus mendewakan segala cara untuk mendapatkan kemewahan. Kuncinya adalah pandai bersyukur. Kalau kita pandai bersyukur dengan kesederhanaan yang kita miliki, kita tidak akan pernah berpikir untuk bergaya hidup mewah. Gaya hidup mewah yang tidak didukung kemampuan finansial, justru akan menyulitkan dan merisaukan diri sendiri.”
Mas Haris benar. Nasihat lelaki ini selalu benar, hanya aku saja yang seringkali keras kepala. Aku kini memberanikan diri memandangi Mas Haris. Dia balik memandangiku, dan tidak seperti saat di meja makan tadi, kami kini bertahan saling pandang. Tiga tahun tidak mendapat tatapan hangat dari lelaki ini, aku bisa merasakan hatiku menggelenyar. Ada getaran kecil yang kini teraktivasi. “Aku minta maaf, ya, Mas. Aku menyesal atas sikapku selama ini.” Jeda pendek kubuat. “Mungkin … mungkin aku tidak termaafkan.”
“Aku sudah lama memaafkanmu, Rin. Sekarang, kamu yang harus memaafkan diri sendiri, dan juga … memaafkan Alex. Hanya dengan memaafkan, kita bisa hidup dengan tenang.”
“Ya.” Aku tertawa ringan. “Terima kasih banyak, Mas. Aku sangat lega hari ini. Lega sekali.”
Lagi-lagi, Mas Haris menepuk pundakku. “Jadi, sekarang apa rencanamu, Rin?”
“Aku … aku akan kembali ke Jakarta minggu ini.” Kata-kataku keluar dengan lambat. Mas Haris menurunkan bulu mata, lalu mengangguk kecil. “Setelah urusan perceraianku selesai, aku akan pulang jadi ibu yang baik untuk Devan.”
“Anak kita pasti senang,” sahut Mas Haris dengan senyum lebar. Melihat senyum itu, tiba-tiba saja jantungku berdebar hebat. “Ayo kita masuk,” katanya lagi seraya bangkit dari kursi.
“Mas!” Aku meraih tangannya seraya ikut berdiri. “Bisakah kita memperbaiki semuanya?” Dia mengernyit tipis, membuatku semakin deg-degan. “Bisakah … bisakah kita kembali bersama?"
●●●
Sembilan tahun kemudian ….
“Bu, semangkanya banyak sekali. Satu, dua, tiga, ada empat buah.” Aku menutup panci sup yang tengah kubuat, lalu mendekati Disa di meja dapur. “Kalau Kak Devan makan ini semua,” katanya seraya memeluk salah satu semangka, “nanti perutnya gendut, dong, Bu.”
Aku tertawa mendengar kata-kata gadis cilikku yang berusia enam tahun ini. “Ini semua bukan untuk Kak Devan saja, Sayang, tapi untuk Disa, untuk Ayah, dan untuk Ibu juga. Ayo, sekarang kita potong salah satu, biar bisa dimasukkan ke kulkas.”
Yeah, biar dingin!” serunya girang. Aku meraih talenan dan pisau di lemari, kemudian menyadari bahwa sup ayam buatanku sudah mendidih. Disa membantuku mematikan kompor, kemudian kembali di meja dapur. “Wah, merah!” Disa berseru lagi setelah semangka terbagi dua. Aku lalu membuat potongan seukuran telapak tangannya untuk dicicipi anak keduaku ini. “Manis, Bu,” komentarnya sambil terus melahap.
Aku tersenyum lebar melihatnya. Kini, sambil terus memotong-motong semangka, aku terkenang keputusan cerdas yang kubuat sembilan tahun lalu. Kalau aku tidak memutuskan bercerai dengan Alex, meninggalkan segala kemewahan semu yang kembali dia tawarkan, aku pasti masih berkubang dalam penderitaan. Di rumah BTN ini, aku akhirnya kembali. Cinta membawaku pulang. Dan, untunglah, cintaku ke Mas Haris tidak bertepuk sebelah tangan. Masa sembilan tahun ini kami lewati dengan penuh kebahagiaan. Anak-anak baik dan penurut, cinta, kebersamaan, kesederhanaan, semua begitu mendamaikan.  
“Bu, kenapa Kak Devan sekolahnya jauh?”
“Karena … di sini belum ada sekolah penerbangan, Sayang. Jadi, Kak Devan harus ke Surabaya.”
Devan ingin jadi pilot sejak akhir SMP. Mas Haris mendukung penuh keinginan anak sulung kami itu. Aku awalnya khawatir dengan biaya sekolah penerbangan yang sangat mahal, tetapi Mas Haris mengingatkan tentang tanah warisan orang tuanya seluas lima belas hektare di kampung. “Inilah saat yang tepat untuk menjual tanah itu, Rin,” kata Mas Haris setahun lalu. “Aku memang menyimpan tanah itu untuk kebutuhan penting seperti ini. Sebagai orang tua, anak adalah prioritas. Kita harus melakukan yang terbaik untuk anak-anak kita.” Dan, tidak ada keraguan lagi di hatiku. Di saat dulu aku memikirkan menjual tanah untuk membeli tas-tas bermerek, ternyata Mas Haris memikirkan hal yang lebih mulia. Masa depan anak kami.
Devan pun diterima di salah satu sekolah penerbangan terbaik di Indonesia yang terletak di Surabaya. Sejak awal, kami menyasar sekolah tersebut, sekolah yang biayanya tidak terlalu mahal, karena telah mendapatkan subsidi dari pemerintah. Untuk alasan itu, seleksinya sangat ketat, tetapi Devan berhasil menjadi salah satu yang terpilih.    
Dering nyaring ponselku dari arah kamar, menyadarkan lamunanku. Disa langsung bergegas mengambil benda canggih itu. “Ibu lagi di dapur, Yah.” Kudengar suara Disa di belakangku. “Sudah di taksi menuju ke sini? Oke, oke. Dadah, Ayah.”
“Kak Devan sama Ayah sudah di jalan menuju ke sini, Bu!” Disa berseru antusias. Ini adalah liburan pertama Devan setelah hampir setahun di Surabaya. Mas Haris sejam lalu berangkat ke bandara untuk menjemput, sedangkan aku dan Disa tetap di rumah untuk menyiapkan sambutan.
“Oke!” sorakku girang seraya menyusun cepat buah semangka di piring saji, lalu memasukkannya ke kulkas. “Kita tunggu di luar, yuk!” ajakku kepada Disa. Kami pun menuju pekarangan rumah, duduk di kursi taman. Di sini, kami menunggu sekitar dua puluh lima menit, hingga akhirnya pintu pagar terbuka.
Devan dan Mas Haris, dua lelaki yang sangat kucintai, berjalan bersisian ke arah kami. Setelah tidak ada lagi jarak, kami berempat saling bertukar pelukan. Oh, inilah kebahagiaan sejati yang tidak akan pernah kutukar dengan uang sebanyak apa pun.
  
*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan nulisbuku.com