Sabtu, 24 Januari 2015

[RESENSI NOVEL THE SILKWORM (ULAT SUTRA)]

Misteri Kematian Novelis yang Cara Kematiannya Tertulis di Novel
Resensator: Susi S. Idris


Judul Buku       : The Silkworm (Ulat Sutra)
Pengarang        : Robert Galbraith
Alih Bahasa      : Siska Yuanita dan M. Aan Mansyur
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : Pertama, 2014
Tebal               : 536 halaman
ISBN               : 978-602-03-0981-1

Setelah sukses menguak misteri kematian Lula Landry di The Cuckoo’s Calling (Dekut Burung Kukuk), detektif partikelir Cormoran Strike kini beraksi kembali di The Silkworm (Ulat Sutra) untuk memecahkan teka-teki kematian seorang novelis bernama Owen Quine.
Kesuksesan Strike membuktikan bahwa kematian Lula Landry bukan aksi bunuh diri, telah memicu publisitas besar-besaran terhadap dirinya. Strike yang awalnya hanya memiliki satu klien, berubah menjadi detektif tersohor di metropolis. Pensiunan tentara yang kaki kanannya diamputasi akibat kecelakaan saat bertugas di militer itu, kini memiliki lebih banyak klien. Orang-orang menganggapnya mumpuni.
Anggapan itu pula yang memicu Leonora Quine datang kepada Strike. Istri novelis Owen Quine itu tidak mengira bahwa suaminya akan menghilang lebih lama dari biasanya dan tidak bisa dihubungi. Leonora pun berharap Strike bisa menemukan Owen, lalu membawanya pulang untuk menemui Orlando, anak tunggal mereka yang memiliki keterbatasan dan sangat merindukan ayahnya.
Awalnya, tugas Strike cukup mudah. Dia hanya perlu menghubungi seseorang di sebuah penerbitan, lalu mendesaknya untuk memberi tahu lokasi retret penulis (yang diyakini Leonora sebagai tempat pelarian Owen), setelah itu Strike cukup membawa Owen pulang. Tetapi, Bigley Hall, tempat retret penulis itu rupanya tidak pernah menerima tamu bernama Owen Quine.
Akhirnya, Strike harus menggali informasi lebih banyak kepada kliennya. Informasi terbaru dari Leonora membawa Strike bertemu dengan lebih banyak orang yang mengenal Owen. Hingga saat Strike tahu tentang rumah di Talgarth Road, detektif itu pergi ke sana. Di rumah itulah, Strike berhasil menemukan Owen, tetapi dalam kondisi tak lagi bernyawa dan sangat mengenaskan.
Novel misteri seri kedua karya Robert Galbraith ini menghadirkan novel di dalam novel. Ya, ada Bombyx Mori dalam The Silkworm. Bombyx mori adalah nama latin untuk ulat sutra. Bombyx Mori merupakan novel terakhir karangan Owen, belum terbit, namun beberapa orang (dan akhirnya tersebar luas), telah membaca naskah novel yang menghujat orang banyak tersebut. Yang membuat gempar, Owen tewas dengan cara yang nyaris sama dengan kematian Bombyx, tokoh utama di novel terakhirnya. Keduanya dibunuh secara sadis dengan menghadirkan “perjamuan makan”.
Seperti halnya novel misteri lain, selalu ada tokoh-tokoh yang sengaja dihadirkan untuk dicurigai pembaca sebagai tersangka. Dalam The Silkworm ada banyak nama yang dihadirkan Robert Galbraith sebagai ‘calon kuat pembunuh Owen Quine’.
Pertama, Leonora Quine, istri Owen. Kedua, Christian Fisher, kepala penerbit Crossfire Publishing. Ketiga, Elizabeth Tassel, agen Owen. Keempat, Daniel Chard, kepala (CEO) perusahaan penerbit Roper Chard, yang menerbitkan buku-buku Owen selama ini. Kelima, Kathryn Kent, pacar (selingkuhan) Owen. Keenam, Michael Fancourt, penulis. Ketujuh, Jerry Waldegrave, editor Owen.
Ketujuh ‘calon kuat pembunuh Owen’ yang dihadirkan Robert Galbraith tersebut masing-masing diberi motif yang sangat kuat untuk menjadi tersangka. Apalagi, ada nama-nama fiktif, yaitu Harpy, Vainglorious, Succuba, Cutter, Tick, Phallus Impudicus, dan Epicoene, dalam novel beraliran surealis Bombyx Mory. Dalam novel karangan Owen tersebut, Bombyx (gambaran dirinya) dibunuh bersama-sama oleh ketujuh tokoh fiktif tersebut. Mungkinkah pembunuh Owen melibatkan banyak orang? Lalu, mengapa Owen menulis novel yang menggambarkan cara kematiannya sendiri? Apakah Owen sudah tahu akan dibunuh oleh tokoh yang dia sebut dalam novel? Yang pasti, pelaku adalah pembunuh yang sangat keji, pembunuh dengan ide dan eksekusi yang sangat rapi. Pembunuh yang membuat Strike harus bekerja keras.
Dibantu asistennya, Robin Ellacott, Strike menyusun janji temu dengan ketujuh ‘calon kuat pembunuh Owen’, melontarkan pertanyaan demi pertanyaan, kemudian menyusunnya menjadi sebab akibat untuk penarikan kesimpulan. Strike dan Robin juga harus menemui banyak orang di luar ke tujuh ‘calon kuat pembunuh Owen’ tersebut: para saksi mata, anak Owen Quine, dan beberapa kenalan yang—sadar maupun tidak—turut membantu penyelidikan Strike. Selain itu, mereka juga berburu novel-novel Owen sebelum Bombyx Mori, termasuk mencari salinan novel terakhir itu, kemudian memaksakan diri masuk ke dunia ganjil rekaan Owen yang mampu membuat siapa pun mual dan muak saat membacanya. Yang paling sulit adalah menemukan barang bukti di tengah barikade Kepolisian Metro yang sejak kasus Lula Landry mulai berhati-hati terhadap keberadaan Strike.
Novel setebal 536 halaman dengan ukuran yang lebih panjang dari ukuran novel lazimnya ini memiliki alur yang tidak hanya membahas tentang kasus Owen. Bagaimana pun, Strike memiliki klien lain yang tetap harus ditangani. Strike memiliki kehidupan pribadi; menghadiri acara ulang tahunnya sendiri yang dibuat adik tirinya, menghadiri undangan makan malam seorang teman yang ditolongnya saat Viking meledak di Afghanistan (merenggut betis kanan Strike), juga memikirkan sang mantan kekasih yang akan segera menikah dengan anak bangsawan Skotlandia.
Selain itu, ada kisah percintaan Robin dengan Matthew, lelaki yang tidak menyukai Strike, lelaki yang menyesali keputusan Robin lebih memilih bekerja sebagai asisten detektif partikelir daripada menerima pekerjaan yang bergaji lebih tinggi.
Cerita yang cukup bercabang-cabang tersebut, di satu sisi menjadikan The Silkworm tidak membosankan, namun di sisi lain terkadang menimbulkan keinginan untuk segera “melompat” ke kasus Owen, meskipun pada akhirnya, pembaca (harus) memaklumi bahwa demikianlah novel berseri. Akan ada banyak konflik sampingan yang menyertai konflik utama. Akan ada banyak tokoh yang dihadirkan (sebagai pendukung kasus yang tengah ditangani Strike, maupun untuk keperluan seri berikutnya). Misalnya seperti yang terjadi pada tokoh Dave Polworth di The Silkworm ini. Di pertengahan cerita (hlm. 327-329), Strike mengingat Dave (teman karibnya sejak TK) yang pernah menantang hiu di lautan luas. Penggambaran yang terasa kurang penting itu ternyata merupakan pembuka bagi Robert untuk menghadirkan kembali tokoh Dave di bagian akhir (hlm. 498) sebagai orang yang membantu Strike menemukan “sesuatu” yang memuluskan jalan sang detektif mengungkap pembunuh Owen. Jadi, sebelum mulai membaca, marilah meyakini bahwa tidak ada tokoh mubazir dalam The Silkworm.
Robert Galbraith (nama alias J.K. Rowling) dalam The Silkworm begitu piawai menghadirkan konflik antartokoh maupun gerak-gerik tokoh sebagai pengecoh, yang memungkinkan tokoh tersebut dicurigai sebagai pelaku oleh pembaca. Jalan cerita yang rumit, tidak membuat satu pun keganjilan dalam logika cerita, karena Robert begitu detail menyusun urutan kronologis maupun hubungan sebab akibat.
Lepas dari kepiawaian Robert menyusun jalan cerita, kepandaian Strike dalam menentukan pembunuh Owen kurang terasa energinya. Artinya, Strike “tiba-tiba” langsung mengetahui pembunuh Owen (hlm. 441; SMS Strike kepada Robin), padahal di halaman sebelumnya, Strike sibuk memikirkan mantan kekasihnya. “Tiba-tiba” artinya tidak ada proses mendebat pikiran sendiri yang diperlihatkan kepada pembaca. Dan Robin pun tidak memiliki kemampuan untuk mendebat bosnya itu, sehingga saat Strike membuka kedok pembunuh, dia hanya terkesan sebagai Robert yang menyampaikan kesimpulan akhir kepada pembaca. Tidak ada kesan bahwa Strike memang cerdas, bahwa dialah yang merumuskan semua kesimpulan itu (bukan Robert).
Masih mengenai tokoh Strike. Pilihan Robert membuat Strike hidup dengan kaki kanan yang diamputasi dari lutut ke bawah, merupakan suatu ciri fisik yang menghadirkan keunikan tersendiri, namun hal itu terkadang menimbulkan kesan lemah pada Strike. Di The Silkworm, Strike digambarkan sangat kesulitan melawan penguntitnya (yang amatir). Dan berkali-kali Strike tidak berdaya dengan kondisi lututnya yang selalu bengkak. Bagaimana nasib Strike jika berhadapan dengan pembunuh-pembunuh yang lebih brutal, yang tidak mengharapkan keberadaannya? Mungkinkah Robert tengah mempersiapkan “kejutan” terkait kaki kanan Strike di serial-serial berikutnya?
Terjemahan The Silkworm ke bahasa Indonesia ini mudah dipahami. Kalimat-kalimatnya padu. Beberapa diksi bahkan terasa “Indonesia”-nya. Untuk urusan teknis, terdapat beberapa kesalahan tipografi, tetapi tidak sampai mengganggu pembacaan.
Gambar lelaki di sampul depan (yang bisa dengan mudah ditandai sebagai Strike), mencitrakan bahwa kaki Strike yang diamputasi adalah sebelah kiri, padahal sebenarnya sebelah kanan. Atau mungkinkah gambar itu hanya menunjukkan kaki kiri Strike yang maju ke depan (seperti tengah melangkah) dan kaki kanan memakai prostetik?
Kepada calon pembaca: bersiaplah untuk masuk ke percakapan-percakapan Strike dan Robin yang membuat penasaran di 150 halaman terakhir. Di sanalah puncak investigasi. Dan Strike akan melibatkan Robin dalam investigasi tersebut. Apa sebenarnya yang akan dilakukan Robin? Apa sebenarnya yang dirancang Strike untuk menjebak pelaku? Benarkah pelaku sedetail itu mempersiapkan aksinya? Robert Galbraith menyembunyikannya dengan sangat baik, bahkan saat kita mengira sang pelaku telah datang, sesungguhnya itu hanyalah jebakan.
Penyelesaian novel ini juga sangat berkesan. Chemistry Strike dan Robin di lembar-lembar terakhir The Silkworm menimbulkan tanda tanya: apakah kelak hubungan keduanya tidak sekadar rekan kerja? Hanya Robert yang bisa menjawab. Mengenai pekerjaan, sebagai informasi, Robin akan mengikuti kursus pengintaian. Dengan begitu, perempuan yang sudah memendam ambisi untuk bekerja dalam bidang penyelidikan kriminal sejak remaja itu “terancam” akan menjadi asisten detektif paling keren sejagat fiksi!
Jadi, mari menanti kolaborasi investigasi antara Strike dan Robin di serial berikutnya, berikutnya, dan berikutnya.