Selasa, 19 April 2016

[Resensi Novel Di Tanah Lada]

Mencari Makna, Mencari Kebahagiaan
Peresensi: Susi S. Idris
Judul Buku    : Di Tanah Lada
Pengarang     : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan        : Pertama, Agustus 2015
Tebal             : 244 halaman
ISBN            : 978-602-03-1896-7

Tidak ada anak-anak yang tidak menginginkan kebahagiaan. Tidak ada anak-anak yang menginginkan namanya bermakna ludah atau hanya berjumlah satu huruf. Tidak ada anak-anak yang tidak senang Papa dan Mama mereka penyayang. Semua anak sama saja: menginginkan kebahagiaan, menginginkan nama yang keren, tidak menginginkan orang tua yang jahat.

Salva, bocah perempuan enam tahun, menyadari bahwa Papa-nya adalah monster. Pengetahuan itu tertanam di benak Salva karena seumur hidupnya, Doni, sang Papa, adalah lelaki yang senang membentak, senang memukul, senang berjudi, dan tidak senang membahagiakan keluarga. “Mama tidak bisa jadi monster, karena Mama tidak kuat. Dia juga tidak suka marah-marah (hlm. 3).”

Demikianlah. Mama menjadi sosok baik dalam novel. Namun, baik pun memiliki kadar tersendiri. Pengarang membuat dikotomi baik dan buruk yang tidak mendewakan salah satu orang tua. Cerita, dengan demikian, menjadi sangat menohok.

Dikisahkan bahwa saat pindah ke rusun Nero, Salva (yang namanya sering diplesetkan menjadi Saliva oleh Papa-nya sendiri), bertemu seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun bernama P. Kehidupan P tidak jauh berbeda dari Salva. Salva tidur di koper, tidur di kamar mandi, sedangkan P harus menunggu hingga Papa-nya keluar rumah, barulah dia boleh masuk. Mereka adalah anak-anak korban kekerasan sang ayah, korban egoisme orang tua. Mereka tumbuh di lingkungan yang tidak harmonis, di tanah yang tidak menumbuhkan kebahagiaan. 

Alih-alih menghadirkan karakter yang lemah, Ziggy menjadikan Salva dan P sebagai anak-anak cerdas dan berbakat. Dua hal tersebut adalah sarana mereka “melawan” keadaan. Salva dengan pengetahuan bahasa Indonesia yang brilian, sedangkan P dengan kemampuan bermain gitar yang membuat kantung celananya selalu berisi uang. Keduanya adalah anomali. Anak usia enam tahun umumnya belum mengetahui makna “bengis”. Anak usia sepuluh tahun umumnya belum mengetahui cara membuat tempat tidurnya sendiri. Anak usia enam dan sepuluh tahun umumnya tidak (mampu) membicarakan reinkarnasi. Tetapi, Salva dan P tahu. Keduanya mampu, dan Ziggy tidak sedang menceracau. Pengarang adalah penggagas yang berani.

Pertama, Ziggy berani memberi Salva usia enam tahun, hanya enam, dan itu bukan kenekatan. Ziggy—di beberapa bagian—hanya nekat berbisik kepada tokoh utama. “Suara” orang dewasa terasa pada beberapa penjabaran Salva terkait ingatan-ingatannya, gagasan, maupun simpulan yang dia buat. Meski terlampau spesifik untuk anak seusianya, hal tersebut bisa dinomorduakan, karena dari “mulut” Salva (autentik Salva), terasa kejujuran, kelucuan, kepedulian, ketakutan, mimpi-mimpi bersahaja. Apa lagi yang merisaukan pembaca jika hal-hal tersebut mampu menghangatkan? Hangat seperti lada.

Kedua, Ziggy berani “memasukkan” kamus bahasa Indonesia di ransel Salva. Kamus dan pemiliknya yang masih bocah adalah dua keunikan Di Tanah Lada. Tidak ada tokoh novel berusia enam tahun yang membawa kamus ke mana pun pergi. Tidak ada tokoh novel berusia enam tahun yang memikirkan calon entri. “Kalau aku membuat kamus, aku akan memasukkan ini di dalamnya: Tanah lada [kb.]: tanah yang menumbuhkan kebahagiaan (hlm. 217).”  
         
Mencari Makna di Kamus, Menemukan Kebenaran di Dunia Nyata
Berkat kamus bahasa Indonesia yang diberikan Kakek Kia kepada Salva, bocah itu mampu mengetahui makna kata sukar yang diucapkan orang dewasa maupun yang tertulis di buku. Banyak makna yang diperoleh Salva dari kamusnya. Makna leksikal berkelindan dengan makna kontekstual, menjadikan Di Tanah Lada sarat kritik sosial atas maraknya kekerasan fisik maupun verbal kepada anak-anak. Kritik menjadi tidak menyebalkan, karena Salva dan P memiliki interpretasi masing-masing terhadap makna yang mereka peroleh. Lucu, lugu, terkadang menyentuh. Misalnya, ketika Salva dan P menemukan makna kata “jalang” di kamus. P, dengan murung, mengatakan bahwa dia jalang, karena tidak dipelihara siapa-siapa (hlm. 193).

Identitas orang tua P serta alasan-alasan mereka menjadi orang tua yang tidak becus mengurus anak adalah “kebenaran” yang disembunyikan sejak awal novel. Pengarang menjadikan informasi tersebut sebagai kejutan yang membuat Di Tanah Lada layak dituntaskan. Apalagi, daya kejut tidak berakhir di bagian itu saja. Masih ada kejutan terakhir yang membuat “cerita Salva” tidak bisa berlanjut. “Semua kebenaran yang tidak pernah kupahami, kupahami di detik itu. Tentang Mama, tentang Papa, tentang Kakek Kia …. Tentang P. Tentang aku (hlm. 240).” 
 
Ziggy, mengenai “kebenaran” yang terlambat diungkap, menyentak pembaca melalui dampak psikologis yang dirasakan P. Kecewa, marah, sedih, senang, sungkan, dirasakan bersamaan oleh anak sepuluh tahun tersebut. Perasaan yang mewakili jutaan perasaan anak-anak di dunia nyata ketika mengetahui bahwa dirinya telah dibohongi Papa dan Mama mereka.

Mencari Kebahagiaan di Tanah Lada
Salva dan P adalah anak-anak yang mencari kebahagiaan mereka sendiri. Hidup keduanya diliputi ketakutan dan kebingungan, nyaris setiap saat. Hal tersebut, sayangnya, bersumber dari orang tua mereka sendiri. “Di rumah, aku selalu berhati-hati kalau mau menonton televisi. Soalnya, Papa bisa masuk dan marah kalau aku ‘membuat mahal biaya listrik’ (hlm. 93).” 

Ketakutan tersebut tidak berlaku ketika Salva memutuskan ikut P, kembali ke rusun Nero. Meskipun rusun Nero bukan tempat pulang yang aman, di sana ada Papa, ada Kak Suri yang sering menyelamatkan P dari amukan Papa-nya, juga ada Kak Alri, lelaki yang mengajari P bermain gitar. Di bagian tersebut, Ziggy memperlihatkan keluhuran hati anak-anak. Betapa setia kawan, cinta kepada orang tua, tetap tumbuh di hati Salva dan P, meskipun keduanya adalah anak-anak korban KDRT.

Kesuraman hari-hari Salva dan P, menemui titik terang ketika Salva teringat kampung halaman neneknya. Pada akhirnya, sebuah perjalanan jauh ditempuh Salva dan P. Dari tanah di rusun Nero, keduanya menuju kampung Nenek Isma, kampung yang dijuluki Tanah Lada, tanah yang menurut mereka akan menumbuhkan kebahagiaan, hanya karena (sepengetahuan Salva) neneknya tersebut hidup bahagia di sana.

Berbekal alamat yang ditulis di kamus, sepeda pemberian, uang hasil bernyanyi dan menjual ponsel, akankah keduanya sampai di tempat tujuan? Akankah sampai di kebahagiaan?

Kebahagiaan untuk Salva dan P adalah tujuan akhir Di Tanah Lada. Ziggy tidak mengakhirinya dengan pola umum, seperti: Papa dan Mama yang (akhirnya) menyadari kesalahan, kembali akur, lalu Salva dan P hidup bahagia dengan kasih sayang orang tua masing-masing. Tidak demikian di novel ini. “Mungkin, kami memang bisa bahagia, kalau kami selamanya bersatu bersama tanah ini. Kami akan tumbuh dalam kebahagiaan. Kami akan tumbuh menjadi kebahagiaan (hlm. 236).” 

Demikianlah. Salva dan P akhirnya meraih kebahagiaan di Tanah Lada, meskipun kebahagiaan itu pun taksa adanya.

Sabtu, 21 November 2015

[Esai] Kekayaan Ekspresi dalam Upaya Mencuri Hati

Karya Susi S. Idris

Foto diculik legal dari sini

Lagu adalah gudangnya ekspresi tokoh utama yang sebagian besar hanya diberi tanda pengenal “aku” oleh sang musisi. “Aku” akan menyebut-nyebut “kamu”, “dia”, “kekasih”, “mantan”, “keong”, “kucing”, dan sejenisnya, untuk berbagai rasa yang dia alami. Rasa yang dialami tokoh utama tersebutlah yang mampu menghadirkan lagu bernuansa gembira, pembangkit semangat, hingga yang melankolis.

Berbicara tentang lagu bernuansa melankolis, Ada Band, grup musik kelahiran 18 November 1996 ini, dikenal sebagai salah satu band Indonesia pencetak lagu-lagu melodramatis yang sulit terlupakan. “Surga Cinta”, “Haruskah Kumati”, “Manusia Bodoh”, “Setengah Hati”, “Masih Adakah Cinta”, “Sendiri”, “Takkan Bisa”, adalah beberapa di antaranya. Dua judul lagu terakhir (yang saya sebut) berada di album Empati, album yang menandai eksplorasi bermusik band fenomenal ini, sehingga dua lagu tersebut—meskipun dibalut dengan irama rock—tetap memperlihatkan tanduk melankolisnya. 

Lagu yang melankolis memang tidak selamanya hadir dengan balutan musik lembut dari denting piano, petikan gitar akustik sepanjang lagu, gesekan biola yang dramatis, juga taburan lirik-lirik puitis. Ada Band, band yang sudah 19 tahun mengukir eksistensi di belantika musik Indonesia ini, membuktikannya kembali (dan lebih berani) melalui single “Kucuri Lagi Hatimu”, single perdana mereka di album ke-13 yang pada 19 November 2015 diputar perdana di 180 radio seluruh Indonesia. Albumnya (judul belum dipublikasi) direncanakan rilis pada awal 2016. Tunggulah sambil terus layangkan request untuk “Kucuri Lagi Hatimu” di radio-radio kesayangan, bisa juga sambil menabung, atau sambil berdoa: tidak ada toko CD yang kembali gulung tikar.

“Kucuri Lagi Hatimu” adalah lagu yang ingar-bingar, cukup berisik, musik disko mengalun sepanjang tiga menit dua puluh sekian detik. Selain itu, lagu yang diciptakan Dika, sang basis ini, memiliki lirik yang lugas. Saking lugasnya, bila kita membaca liriknya (dan belum mendengar lagunya), kita akan skeptis dan mulai memendam praduga, “Bagaimana mungkin lirik selugas ini menghadirkan lagu melankolis yang menghangatkan hati?”

Jawabannya adalah kepiawaian! Kita patut menjura kepada orang-orang di depan maupun di belakang Ada Band: Donnie (vokalis), Dika (basis), Marshal (gitaris), Adhy (drumer), dan para kerabat kerja. Semua bekerja dengan maksimal untuk lagu ini.

Jadi, kepiawaian Ada Band dalam mengemas “Kucuri Lagi Hatimu” adalah: (1) Memanfaatkan kekhasan suara sang vokalis. Vokalis satu ini, apabila suaranya dibahas, akan menghabiskan satu rim kertas HVS. Suaranya lembut, sesekali serak, gumaman dan napas di ujung kata seringkali semacam instrumen tersendiri. Pelafalan kata-kata tertentu (biasanya yang mengandung huruf d, g, dan s), Donnie punya “nadanya” sendiri. Di lagu ini, kekhasan tersebut sangat kentara. Suara Donnie cukup ditonjolkan sehingga mampu mengimbangi musik yang ingar-bingar. (2) Pemilihan ritme (tinggi rendah alunan kata, keras lembut tekanan) yang sangat variatif. Ada kata yang diteriakkan, ada kata yang diucapkan tegas, ada kata yang cenderung lembut penuh harap. (3) Adanya pemenggalan kata-kata tertentu dalam satu kalimat. Dengarkan lirik berikut: Salahku … meninggalkanmu. Andaikan … kucuri lagi hatimu. Kamulah … harta yang paling indah. Jeda dua detik menimbulkan aura sendu tersendiri di lagu ini.

“Kucuri Lagi Hatimu” berkisah tentang “aku” lirik yang menyesali kesalahannya di masa lalu terhadap “mu”. Seiring penyesalan tersebut, “aku” mendambakan “mu” kembali menjadi miliknya. “Aku” didera rindu, didera gelisah, semua karena rasa sayang yang masih ada. Dengarkan lirik pembuka berikut: Gelisah merindukan pelukmu. Salahku meninggalkanmu, oh kasihku. Maafkan salahku dulu. Aku sayang kepadamu. Sekilas, liriknya memang lugas, tepat seperti gambaran cerita. Namun, tunggu dulu, pencipta lagu ini membuat kejutan melalui refrain berikut: Andaikan kucuri lagi hatimu. Percayalah hanya padamu, cintaku. Kamulah harta yang paling indah. Kejutannya mana? Ada di kata “andaikan”. Kata pengandaian tersebut menimbulkan dramatisasi tersendiri di lagu ini, selain suara, nada, dan musik (yang sudah saya bahas di awal).

Coba resapi berkali-kali lirik andalan tersebut: Andaikan kucuri lagi hatimu, hingga saat mendengar Donnie melantunkannya, pastilah kita akan terbawa suasana sendu perasaan si “aku”. Tokoh utama tersebut sudah mengakui kesalahannya, sudah mengucapkan maaf, namun untuk mencuri lagi hati si “mu”, “aku” masih harus berandai-andai. Mungkinkah kesalahan “aku” di masa lalu memang sulit untuk diberi kesempatan kedua?

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa hampir di setiap kata “andaikan” pasti ada penyesalan atau harapan besar yang mengikutinya. Andaikan kucuri lagi hatimu. Percayalah hanya padamu, cintaku. Dalam konteks lirik tersebut, “aku” sudah percaya diri bahwa dia bisa (kembali) memberi cinta seutuhnya kepada “mu”, namun sayangnya semua itu tidak ada artinya karena hati “mu” belum kembali tercuri.  

“Kucuri Lagi Hatimu” memang lagu yang kaya ekspresi tokoh utamanya. Sejak di lirik pertama, ungkapan perasaan “aku” sudah dihadirkan kepada pendengar. Ada kegelisahan karena merindukan pelukan. Ada kesadaran tentang kesalahan yang mewujud permintaan maaf. Ada rasa cinta yang begitu besar. Ada harapan untuk kembali bersama. Ada keinginan untuk menjaga dan selalu menyayangi. Ada kejujuran bahwa “mu” adalah harta yang paling indah, dan ada bayangan yang terus mengusik. Selalu membayangkan wajahmu, kata “aku”. Terbawa di setiap waktu dan mimpiku.

Lepas dari kekayaan ekspresi tokoh utama dalam lagu ini, selayaknya sebuah karya, kreatorlah yang kekayaan ekspresinya begitu melimpah. Ketiadaan nada menjadi ada. Hal-hal yang biasa menjadi luar biasa. Ada Band layak mendapat apresiasi setinggi-tingginya atas kelahiran single perdana “Kucuri Lagi Hatimu” ini. Mereka berhasil menghadirkan lagu bermusik disko yang tetap terasa aura melankolisnya. Meski melankolis, sesekali kita akan dibuat bergoyang kecil. Meski sambil bergoyang, hati kita akan tetap terhunjam oleh ungkapan perasaan “aku” yang begitu tulus untuk kembali mencuri hati sang kekasih.

“Kucuri Lagi Hatimu” adalah lagu dengan komposisi kegalauan yang menumbuhkan energi positif. Melalui lagu ini, kita akan belajar untuk tidak menyia-nyiakan orang yang menyayangi kita dengan tulus. Sebab, pada akhirnya, “kekasih” yang tuluslah yang selalu dirindukan “mantan”.
      
Akhirnya, kepada siapa pun yang belum mendengar single “Kucuri Lagi Hatimu”, ayolah setel radio kalian, lalu request sebanyak-banyaknya (di setiap frekuensi bila mampu). Kepada Ada Band, terus berkarya untuk Indonesia! Terus tebarkan inspirasi, motivasi, dan kebahagiaan, kepada penikmat musik di mana pun berada, seperti yang sudah kalian mulai sejak 1996. 

Salam. :)

Jumat, 20 November 2015

[Cerpen] Cinta Membawaku Pulang

Karya Susi S. Idris

Sebelas jam lalu, guncangan hebat menyerang pertahananku. Gempa di depan mata seketika menjalar ke dada, membuat limbung, membuat segala kecurigaan bersorak menang. Aku berlari dengan air mata yang berhasil menggelincirkanku ke masa tiga tahun lalu saat aku juga lari dari rumah, tetapi saat itu mataku berbinar. Oh, perasaan hancur kini mengepung. Melumpuhkan. Memenjarakan.
Aku sembunyi sebagai perempuan patah hati di kamar hotel yang gelap ini. Lampu padam. Gorden menutup jendela kaca secara sempurna, sedikit cahaya berasal dari sinar pagi yang menerobos ventilasi. Sudah pagi dan aku masih saja menangis di tempat tidur.
Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang istri selain mendapati suaminya selingkuh. Aku kini tahu rasanya dibuang, direndahkan, rasanya seperti ingin mati. Bersamaan dengan kenyataan menyakitkan itu, dering ponsel menginterupsi. Suara di seberang terdengar sendu dan penuh harap. Guncangan lain hadir. Anakku sakit. Anak yang sudah tiga tahun kutinggalkan, memanggil ibunya dalam sakit. “Pulanglah, Rin, demi anakmu,” kata Mas Haris sepuluh jam lalu. “Devan sangat merindukan ibunya.”
Konsep pulang menjadi sangat tidak pantas kupraktikkan. Bagaimana mungkin kakiku kembali ke rumah yang nyaris sembilan tahun kutinggali dengan sumpah serapah? Bagaimana mungkin orang-orang yang sudah kucampakkan malah menginginkan kehadiranku?
Mereka tidak tahu bahwa aku baru saja dicampakkan lelaki yang selama tiga tahun ini kubanggakan. Bagaimana jika mereka tahu?
●●●
Menyingkirkan segala egoisme, tepat dua hari setelah telepon Mas Haris, akhirnya hari ini aku kembali ke Kendari, kota yang menyimpan banyak kenangan bersama mantan suami dan anak semata wayangku. Bagaimana pun, masa pacaran dan masa awal pernikahan, adalah hari-hari yang menyenangkan. Pada akhirnya, aku kalah oleh sifat materialistis di diriku. 
Kuberikan koperku kepada sopir taksi untuk dimasukkan ke bagasi mobilnya, dan aku hanya mematung di sisi mobil. Setelah lelaki tinggi kurus itu kembali di depan kemudi, barulah aku bergerak, masuk ke kursi penumpang dengan tas Gucci di genggaman. Ini terasa sesak. Setelah perjalanan udara sekitar satu jam lebih, sekarang adalah perjalanan darat yang kurasa tidak akan lebih dari dua puluh menit. Dua puluh menit lagi aku sampai? Aku menurunkan kaca jendela. Kecemasan semakin menyesakkan.  
“Ke mana, Mbak?” Sopir taksi bertanya setelah memasang sabuk pengamannya.
“BTN Wirabuana,” kataku sembari mengempaskan tubuh ke sandaran jok. Mobil pun mulai melaju, meninggalkan pelataran Bandara Haluoleo ini.
Tiga tahun kuhabiskan waktu bersenang-senang di Jakarta tanpa pernah memedulikan anakku. Seorang duda tanpa anak yang usianya lebih tua delapan belas tahun dariku, menginginkanku menjadi istrinya setelah melihatku bernyanyi di sebuah acara pernikahan. Aku luar biasa senang dan merasa beruntung. Meskipun duda dan setengah baya, lelaki itu adalah seorang pengusaha yang restorannya memiliki puluhan cabang di Indonesia. Aku tidak perlu lagi susah-susah bernyanyi untuk mendapatkan tas atau baju bermerek, untuk mendapatkan segala kemewahan yang telah lama kudambakan. Sebab, bersama Mas Haris, aku hanya hidup dalam keterbatasan ekonomi, yang dengan entengnya dibantah lelaki itu. “Kehidupan kita sudah lebih dari cukup, Rin. Kita harus pandai bersyukur, pandai mengelola keuangan. Harta yang banyak pun akan habis jika tidak dikelola dengan baik.”
Aku muak dengan nasihat bijak seperti itu. Aku muak dengan Mas Haris yang setiap bulan hanya bisa memberi tiga juta lima ratus ribu untuk biaya hidup. Aku muak dengan lelaki yang tidak mau menjual tanah warisan orang tuanya untuk mengganti motor kami dengan mobil, untuk mengganti BTN dengan rumah mewah, untuk membelikanku barang-barang bermerek. Aku muak, maka seluruh kemuakan itu langsung kujadikan tombak untuk menggugat cerai Mas Haris. Bukan itu saja, aku bahkan lancang mengatakan bahwa telah ada lelaki lain yang kucintai. Lelaki yang seratus kali lebih mapan dari Mas Haris.
Meski keinginan bercerai bukan pertama kali kuungkapkan saat itu, Mas Haris tetap kaget dan sangat terpukul dengan keputusanku. Dia meminta aku tenang, sabar, dan berpikir ulang. Dia memberiku nasihat demi nasihat, terutama untuk  membuka mataku bahwa harta bukanlah kunci utama kebahagiaan. “Mewah adalah kesederhanaan yang dibalut kebersamaan, Rin. Kebersamaan dengan orang-orang yang menyayangi kita sepenuh hati.” Sebagai guru BK di sebuah SMA, Mas Haris punya ribuan kalimat bijak, yang seringkali melegakan, tetapi lebih sering menjengkelkan bagiku.
Kenyataannya, Mas Haris benar. Meski tiga tahun aku hidup dalam kemewahan, tidak sedikit pun kuraih kasih sayang keluarga. Suamiku datang hanya di saat dia menginginkan pelukan, sedangkan ibu mertuaku yang entah mengapa sangat benci padaku, selalu membuatku terlihat rendah di mata orang lain. Beberapa teman sudah sering melaporkan keberadaan perempuan lain suamiku, tetapi aku berusaha untuk tidak memercayai mereka. Sesungguhnya, hati kecilku memendam banyak kecurigaan, keresahan, tetapi semuanya tertutupi oleh ketakutan. Aku takut segala kemewahan yang diberikan suamiku, direnggut kembali dalam sekejap. Direnggut oleh kenyataan buruk: perselingkuhan.
Dua hari lalu, kenyataan itu menampakkan diri. Seorang teman mengirimkan alamat hotel tempat suamiku (katanya) berkencan. Saat memergoki suamiku dengan seorang perempuan di tempat tidur, kukira dia akan menyesal, karena sebenarnya aku sudah siap membukakannya pintu maaf. Ternyata, suamiku malah memaki, mengataiku tidak tahu diri, dan dengan entengnya dia langsung melontarkan kata cerai.
Menyakitkan!
Tanpa kusadari, ingatan-ingatan itu membuat pipiku kini basah oleh air mata. Mula-mula menetes tanpa suara, lalu isakan lolos dari mulutku. Sopir di depan kemudi menoleh kecil, “Maaf, Mbak," tegurnya, "ada masalah?”
“Tidak,” kataku bohong. Masalahku banyak, pelik, dan semuanya terjadi karena kebodohan dan keserakahanku. Betapa malunya untuk kuberitahu ke orang asing.
●●●
Kusandarkan punggung di tembok rumah bercat jingga ini. Di sampingku terbingkai dua jendela berkaca riben, dan di samping jendela ada pintu kayu bercat cokelat tua yang saat ini tertutup rapat. Segalanya masih sama dengan yang dulu, setidaknya di bagian depan rumah Mas Haris ini. Aku mendesah saat melihat bunga-bunga di pekarangan yang tumbuh subur. Asoka, mawar, kembang sepatu, kaktus, aneka palem, semua kian merindangkan rumah kecil berlantai satu ini. Dulu sekali, aku dan Mas Haris sering merawat bunga bersama-sama, setelah itu kami meminum teh di kursi taman—yang hingga sekarang masih setia di posisinya, di sudut kanan pagar, tepat di hadapanku saat ini.
Pukul 15.10 di ponselku. Suasana sepi, tetapi dari motor merah yang terparkir di bawah pohon mangga samping rumah, aku yakin Mas Haris dan Devan ada di dalam. Kata Mas Haris, Devan dirawat seminggu di rumah sakit karena demam berdarah. Selama di rumah sakit hingga dipulangkan empat hari lalu di rumah ini, Devan selalu memanggil-manggil ibunya. Aku! Dan, aku masih mengumpulkan keberanian untuk sekadar mengetuk pintu.
Derit pintu pagar lalu terdengar. Bersamaan dengan itu, seorang perempuan yang kutaksir seusia orang tuaku masuk ke pekarangan dengan kantung plastik di kedua tangannya. Aku langsung berdiri tegak. Pandangan kami saling beradu, hingga akhirnya perempuan gemuk berjilbab sepinggang itu tersenyum dan berkata dengan nada bertanya, “Ibunya Devan?”
“I-iya,” kataku kikuk. Aku belum pernah bertemu perempuan ini sebelumnya, tetapi dia mengenalku.
“Bapak sama Devan ada di dalam,” ucapnya seraya membuka pintu. “Ayo masuk, Bu, saya kerja bersih-bersih di sini, dua kali seminggu. Ibu bisa panggil saya Bibi.”
Oh, ya, Mas Haris tentu tidak bisa mengurus rumah ini sendirian. Aku menarik koperku, mengikuti Bibi masuk. “Saya tadi baru dari sini,” terangnya. “Pas sampai rumah, lihat banyak semangka, langsung ingat Devan. Kebetulan, rumah saya hanya lima ratus meter dari sini.”
Aku teringat bahwa Devan sangat menyukai semangka. Semoga beberapa pakaian di koper, bisa menjadi oleh-oleh yang juga disukai bocah sepuluh tahun itu.
“Ayo duduk, Bu. Saya panggil Bapak dulu.” Kedatanganku hari ini memang tidak kuberi tahu sebelumnya kepada Mas Haris. Aku tidak mau ditunggu di pekarangan seperti kebiasaan Mas Haris dan Devan saat aku masih jadi penyanyi di berbagai acara.
“Rin, kamu datang, Rin?” Aku mendongak. Sosok tinggi tegap yang seusia denganku—36 tahun—mendekat. Tidak ada yang berubah dari wajahnya. Kumis dan janggut tipis masih dipertahankannya hingga kini. Tubuh sawo matangnya dibalut kaus cokelat pudar dan celana kain selutut yang sangat kukenali. Oh, kenapa aku tidak berpikir untuk membawakannya oleh-oleh?
Aku langsung berdiri dan menjabat tangannya. “Devan mana, Mas?” tanyaku mengalihkan pembicaraan agar pembahasan tentang kepulanganku, tidak berlanjut. Mas Haris mengatakan Devan ada di kamarnya. Aku minta izin untuk menemuinya, dan Mas Haris mengingatkan bahwa Devan “anak kami”. Sungguh, aku merasa buruk mendengar itu. Aku bukan ibu yang baik.    
“Ibu?” Devan terkejut saat melihatku di ambang pintu kamarnya. “Ibu, Ibu datang?” Dia segera turun dari tempat tidur, dan langsung mendaratkan pelukan ke tubuhku. Sesaat, kudengar isakannya. Aku langsung mendekap kepalanya yang tepat mencapai bahuku. Oh, anak lelakiku sudah setinggi ini. “I-Ibu ke mana saja?” Dia bertanya di antara tangisnya. Pertanyaan itu membuatku tergugu, hingga akhirnya aku ikut menangis. “Bu, jangan pergi lagi, ya? Devan rindu sama Ibu.”
Oh, apa yang sudah kuperbuat selama tiga tahun ini? Aku pergi tanpa pernah memikirkan perasaan anakku. “Iya, Nak, kita akan selalu sama-sama.”
“Sama Ayah juga,” sahutnya seraya melepas pelukan. Tidak, Nak. Tidak bisa. Aku mengusap-usap rambutnya. Ibu banyak salah sama ayahmu.
●●●
“Kamu di mana, Rin?” Suara di seberang terdengar geram. Setelah mengabaikan tiga deringan, akhirnya telepon ini kuangkat. Dan, sesuai dugaanku, peneleponku marah besar. “Kenapa pergi dari rumah, ha? Dasar tidak tahu diri!”
“Kamu sudah menceraikanku, Lex.” Aku mengingatkannya. “Tinggal daftar di pengadilan, ‘kan? Jadi, siapa yang mau menggugat? Kamu? Aku?”
“Tidak ada gugatan!” tukas Alex tajam. Aku mengatur napas karena kaget. “Aku masih menginginkanmu, Airin.” Suara Alex kini terdengar lebih bersahabat, aku mulai bernapas lega. “Ayo, pulanglah, nanti kukenalkan sama perempuan yang bersamaku di hotel beberapa hari lalu. Rencananya, dia akan kujadikan istri kedua.”
“Kamu gila, Lex!” Aku sontak berteriak. “Kamu mau menikah lagi? Kamu pikir aku mau dimadu?”
Alex di seberang tertawa. “Kupikir memang seperti itu, Perempuan Matre. Kamu tahu, ‘kan, apa yang akan terjadi kalau kamu bercerai denganku? Kemiskinan! Aku tidak akan membiarkanmu memiliki sepeser pun dari kekayaanku.”
Aku terpaku memandangi lantai tehel di kamar Devan yang sempit ini. “Kenapa diam?” Alex kembali berujar. “Oh, perlu waktu berpikir, ya? Baiklah, dua kali dua puluh empat jam untuk istri seksi sepertimu. Tapi, aku yakin kamu akan kembali ke pelukanku.”
Bersamaan dengan putusnya sambungan telepon, tubuhku langsung merosot di lantai. Aku duduk memeluk kaki dengan punggung yang bersandar pada sisi kanan tempat tidur. Ini dilematik. Kalau aku memilih bercerai dengan Alex, hidupku akan kembali susah. Tidak ada lagi arisan tas-tas bermerek, tidak ada lagi pesta sambil merumpi dengan istri-istri pengusaha, tidak ada lagi liburan ke luar negeri, tidak ada lagi mobil mewah, tidak ada lagi segala kemewahan. Aku akan hidup bersama Devan dengan uang dari hasil menyanyi. Oh, menyanyi di acara-acara pernikahan bukan pekerjaan bergaji besar. Lagi pula, apa masih ada yang menginginkan suaraku? Tetapi, kalau aku bertahan jadi istri Alex, apa aku kuat menghadapi perempuan lain di lingkaran kami? Apa aku bisa terus bertahan dari sifat Alex yang hanya menjadikanku pemuas nafsunya? Apa aku sanggup terus-menerus direndahkan oleh ibu mertuaku?
Apa aku mencintai Alex? Tidak. Selama ini aku hanya hidup dalam kepura-puraan.
Ponselku kembali berdering. Di layar yang berkedip-kedip tampak nama salah seorang teman arisanku. “Hoi, Jeng,” sambarnya, “kamu sibuk memasak, ya? Sejak kapan?” Terdengar suara tawa beruntun  di seberang. “Masa lupa, sih, sama pestaku? Tinggal kamu, nih, yang belum datang—” Aku langsung memutus sambungan. Aku bangkit dari duduk, dan langsung menuju dapur. Sekitar tiga jam lagi Mas Haris dan Devan pulang dari sekolah. Aku harus … aku harus memasak sesuatu.
●●●
“Padahal, aku berencana mengajakmu dan Devan makan di luar.” Mas Haris menarik kursi di hadapanku. “Ternyata kamu masak.” Dengan wajah semringah, dia meneliti piring-piring di meja.
Aku tersenyum tawar. “Kebetulan banyak bahan makanan di kulkas, Mas.”
“Oh, ya, Bibi mengisinya kemarin pagi.” Aku menurunkan bulu mata saat pandangan Mas Haris berserobok dengan pandanganku. “Mm, kamu baik-baik saja?” Aku langsung terbeliak mendengar pertanyaan itu. “Kamu kelihatan murung,” terangnya. “Apa … apa ada masalah?”
“Aku harus pergi dari sini,” kataku lirih. “Aku tidak pantas di sini.”
“Kamu minta izin berapa hari dengan suamimu?”
“Tidak, bukan tentang itu, tapi—”
“Bu,” Devan muncul sambil memakai baju kaus yang kemarin kubawakan. “Bibi sudah pulang, ya?”
“Bibi tidak datang, Dev,” sahut Mas Haris.
“Jadi,” Devan duduk di sampingku, “makanan ini dibeli di mana?”
Mas Haris menyahut lagi, “Semua ini buatan ibumu.”
“Wah!” Devan membuka piringnya yang telungkup. Aku langsung menyendokkan nasi ke piring itu. Sesaat kusadari bahwa dia memandangku intens. “Ibu cantik, lebih cantik dari yang difoto.” Aku refleks tersenyum. “Dan, ternyata Ibu sangat baik, padahal aku pernah menganggap Ibu tidak baik. Maaf, ya, Bu?” 
Aku serta-merta menyimpan piring di tanganku, langsung mencondongkan tubuh untuk memeluk Devan. Ibu mana yang tidak  terenyuh dengan perkataan polos seperti yang baru saja diucapkan Devan? “Ibu yang minta maaf, Nak.” Aku mengecup puncak kepalanya. “Ibu yang banyak salah sama kamu dan ayahmu.”
●●●
“Tidak ada orang yang luput dari kesalahan, Rin, jangan menyalahkan diri sendiri secara berlebihan.” Percakapan berlanjut sejak sepuluh menit lalu di kursi taman ini, antara aku dan Mas Haris. Berhadapan sepuluh menit dengan Mas Haris, aku tidak kuasa menutupi keadaan rumah tanggaku dengan Alex. Aku baru saja mengatakan tentang perselingkuhan lelaki itu, dan sekarang aku menangis sambil mengungkit-ungkit bahwa yang terjadi saat ini adalah balasan atas perbuatanku tiga tahun silam. “Tenanglah, kamu harus tenang. Ini bukan hukuman. Ini pelajaran untuk kita semua.” Kurasakan tangan mantan suamiku ini menepuk pelan pundakku. 
Aku mengusap wajah dengan tisu, serta-merta berusaha menghentikan tangisanku. Devan sedang tidur siang di kamarnya. Dia tidak boleh terbangun dan mendapatiku bersedih seperti ini. “Kupikir, uang adalah segalanya,” kataku lirih sambil menunduk. “Uang yang banyak, harta yang melimpah, barang-barang mewah, semuanya hanya menghadirkan kebahagiaan sesaat. Aku merasakannya, Mas. Hatiku rasanya kering, jiwaku kosong, semua karena tiga tahun ini aku jauh dari orang-orang yang menyayangiku dengan tulus.”
Kudengar Mas Haris mendesah ringan. “Aku senang kamu sekarang sudah memahaminya, Rin. Kita memang butuh uang, tapi tidak lantas kita harus mendewakan segala cara untuk mendapatkan kemewahan. Kuncinya adalah pandai bersyukur. Kalau kita pandai bersyukur dengan kesederhanaan yang kita miliki, kita tidak akan pernah berpikir untuk bergaya hidup mewah. Gaya hidup mewah yang tidak didukung kemampuan finansial, justru akan menyulitkan dan merisaukan diri sendiri.”
Mas Haris benar. Nasihat lelaki ini selalu benar, hanya aku saja yang seringkali keras kepala. Aku kini memberanikan diri memandangi Mas Haris. Dia balik memandangiku, dan tidak seperti saat di meja makan tadi, kami kini bertahan saling pandang. Tiga tahun tidak mendapat tatapan hangat dari lelaki ini, aku bisa merasakan hatiku menggelenyar. Ada getaran kecil yang kini teraktivasi. “Aku minta maaf, ya, Mas. Aku menyesal atas sikapku selama ini.” Jeda pendek kubuat. “Mungkin … mungkin aku tidak termaafkan.”
“Aku sudah lama memaafkanmu, Rin. Sekarang, kamu yang harus memaafkan diri sendiri, dan juga … memaafkan Alex. Hanya dengan memaafkan, kita bisa hidup dengan tenang.”
“Ya.” Aku tertawa ringan. “Terima kasih banyak, Mas. Aku sangat lega hari ini. Lega sekali.”
Lagi-lagi, Mas Haris menepuk pundakku. “Jadi, sekarang apa rencanamu, Rin?”
“Aku … aku akan kembali ke Jakarta minggu ini.” Kata-kataku keluar dengan lambat. Mas Haris menurunkan bulu mata, lalu mengangguk kecil. “Setelah urusan perceraianku selesai, aku akan pulang jadi ibu yang baik untuk Devan.”
“Anak kita pasti senang,” sahut Mas Haris dengan senyum lebar. Melihat senyum itu, tiba-tiba saja jantungku berdebar hebat. “Ayo kita masuk,” katanya lagi seraya bangkit dari kursi.
“Mas!” Aku meraih tangannya seraya ikut berdiri. “Bisakah kita memperbaiki semuanya?” Dia mengernyit tipis, membuatku semakin deg-degan. “Bisakah … bisakah kita kembali bersama?"
●●●
Sembilan tahun kemudian ….
“Bu, semangkanya banyak sekali. Satu, dua, tiga, ada empat buah.” Aku menutup panci sup yang tengah kubuat, lalu mendekati Disa di meja dapur. “Kalau Kak Devan makan ini semua,” katanya seraya memeluk salah satu semangka, “nanti perutnya gendut, dong, Bu.”
Aku tertawa mendengar kata-kata gadis cilikku yang berusia enam tahun ini. “Ini semua bukan untuk Kak Devan saja, Sayang, tapi untuk Disa, untuk Ayah, dan untuk Ibu juga. Ayo, sekarang kita potong salah satu, biar bisa dimasukkan ke kulkas.”
Yeah, biar dingin!” serunya girang. Aku meraih talenan dan pisau di lemari, kemudian menyadari bahwa sup ayam buatanku sudah mendidih. Disa membantuku mematikan kompor, kemudian kembali di meja dapur. “Wah, merah!” Disa berseru lagi setelah semangka terbagi dua. Aku lalu membuat potongan seukuran telapak tangannya untuk dicicipi anak keduaku ini. “Manis, Bu,” komentarnya sambil terus melahap.
Aku tersenyum lebar melihatnya. Kini, sambil terus memotong-motong semangka, aku terkenang keputusan cerdas yang kubuat sembilan tahun lalu. Kalau aku tidak memutuskan bercerai dengan Alex, meninggalkan segala kemewahan semu yang kembali dia tawarkan, aku pasti masih berkubang dalam penderitaan. Di rumah BTN ini, aku akhirnya kembali. Cinta membawaku pulang. Dan, untunglah, cintaku ke Mas Haris tidak bertepuk sebelah tangan. Masa sembilan tahun ini kami lewati dengan penuh kebahagiaan. Anak-anak baik dan penurut, cinta, kebersamaan, kesederhanaan, semua begitu mendamaikan.  
“Bu, kenapa Kak Devan sekolahnya jauh?”
“Karena … di sini belum ada sekolah penerbangan, Sayang. Jadi, Kak Devan harus ke Surabaya.”
Devan ingin jadi pilot sejak akhir SMP. Mas Haris mendukung penuh keinginan anak sulung kami itu. Aku awalnya khawatir dengan biaya sekolah penerbangan yang sangat mahal, tetapi Mas Haris mengingatkan tentang tanah warisan orang tuanya seluas lima belas hektare di kampung. “Inilah saat yang tepat untuk menjual tanah itu, Rin,” kata Mas Haris setahun lalu. “Aku memang menyimpan tanah itu untuk kebutuhan penting seperti ini. Sebagai orang tua, anak adalah prioritas. Kita harus melakukan yang terbaik untuk anak-anak kita.” Dan, tidak ada keraguan lagi di hatiku. Di saat dulu aku memikirkan menjual tanah untuk membeli tas-tas bermerek, ternyata Mas Haris memikirkan hal yang lebih mulia. Masa depan anak kami.
Devan pun diterima di salah satu sekolah penerbangan terbaik di Indonesia yang terletak di Surabaya. Sejak awal, kami menyasar sekolah tersebut, sekolah yang biayanya tidak terlalu mahal, karena telah mendapatkan subsidi dari pemerintah. Untuk alasan itu, seleksinya sangat ketat, tetapi Devan berhasil menjadi salah satu yang terpilih.    
Dering nyaring ponselku dari arah kamar, menyadarkan lamunanku. Disa langsung bergegas mengambil benda canggih itu. “Ibu lagi di dapur, Yah.” Kudengar suara Disa di belakangku. “Sudah di taksi menuju ke sini? Oke, oke. Dadah, Ayah.”
“Kak Devan sama Ayah sudah di jalan menuju ke sini, Bu!” Disa berseru antusias. Ini adalah liburan pertama Devan setelah hampir setahun di Surabaya. Mas Haris sejam lalu berangkat ke bandara untuk menjemput, sedangkan aku dan Disa tetap di rumah untuk menyiapkan sambutan.
“Oke!” sorakku girang seraya menyusun cepat buah semangka di piring saji, lalu memasukkannya ke kulkas. “Kita tunggu di luar, yuk!” ajakku kepada Disa. Kami pun menuju pekarangan rumah, duduk di kursi taman. Di sini, kami menunggu sekitar dua puluh lima menit, hingga akhirnya pintu pagar terbuka.
Devan dan Mas Haris, dua lelaki yang sangat kucintai, berjalan bersisian ke arah kami. Setelah tidak ada lagi jarak, kami berempat saling bertukar pelukan. Oh, inilah kebahagiaan sejati yang tidak akan pernah kutukar dengan uang sebanyak apa pun.
  
*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan nulisbuku.com

Sabtu, 31 Oktober 2015

[Cerpen] Disaksikan Sebatang Pohon

Karya Susi S. Idris

12 Juni 2015
Aku memacu motorku dengan kecepatan sedang melintasi jalan B. Jalan B, sebut saja demikian, sebab ini bukan jalan raya di perkotaan yang setiap ruasnya memiliki nama. Ini hanya jalan berkelok-kelok nyaris lima kilometer—yang tujuh tahun lalu dibuka pemerintah—untuk memberi akses tercepat kepada warga kabupaten menuju ibu kota provinsi. Aku melewatinya nyaris setiap akhir pekan sejak mulai kuliah—enam tahun lalu—di sebuah universitas ibu kota. Jarak desaku dari universitas itu kira-kira empat puluh kilometer, dan Jalan B (yang kiri dan kanannya masih berupa jurang, sesekali tebing, nyaris tidak ada pemukiman) berada di tengah-tengah—dua puluh kilometer dari rumahku.
Ada satu titik di pinggir jalan B ini yang setiap kali melihatnya, setiap kali melewatinya, dadaku serta-merta bergetar. Kira-kira seratus meter lagi motorku akan mencapai titik itu. Titik yang masih bisa kukenali meski lima tahun telah berlalu dari sebuah Peristiwa Besar yang menimpaku. Sebatang pohon mahoni adalah tanda. Di bawah pohon itulah, titik hidup dan matiku pernah beradu.
Aku ‘menyesal’ dan ‘berjanji’ secara bersamaan di bawah pohon itu, lima tahun lalu. Aku menyesal atas sikapku yang selama bertahun-tahun nyaris tidak pernah patuh terhadap peraturan berkendara. Aku menyesali semuanya, maka aku berjanji di antara luka dan rasa perih di sekujur tubuh bahwa aku tidak akan lagi melanggar peraturan lalu lintas, bahkan aku berjanji akan mewujudkan mimpi Ayah yang menginginkanku menjadi seorang polisi.
Tuhan Maha Mendengar. Dari mata yang setengah terpejam bisa kulihat seorang perempuan berambut panjang, bertopi cokelat, berwajah putih pucat, meraih tanganku. Setelah itu, tidak ada lagi yang kuingat. Aku terbangun dari koma tiga hari kemudian di sebuah rumah sakit provinsi. Aku selamat dari maut.
Kunaikkan kaca helm untuk melihat lebih jelas pohon mahoni yang masih berdiri kokoh di pinggir jalan beraspal ini (sebelah kanan dari arah rumahku). Laju motor kupelankan. Bisa kulihat pohon itu semakin menjulang dan rimbun. Di bawahnya, rumput-rumput tumbuh subur. Tubuhku pernah terbaring tidak berdaya di rumput itu. Dadaku bergetar, lagi-lagi bergetar penuh syukur. Semoga perempuan penyelamatku selalu diberi kebahagiaan, di mana pun dia berada. Sejujurnya, tidak ada yang mengetahui wajah perempuan itu selain aku. Dua perawat yang menurunkanku dari mobil ke ruang UGD mengatakan bahwa mereka tidak melihat jelas seseorang di depan kemudi. Wajahnya terhalang topi. Lagi pula, mobil itu langsung pergi.

22 Agustus 2010
Aku sudah siap di depan kemudi, tetapi Riza belum juga muncul. Kutekan klakson berkali-kali, dan sesaat kemudian kembaranku itu muncul bersama Bapak di teras. “Lama banget, sih!” keluhku, lalu menyuruhnya segera naik. Aku dan Riza kuliah di universitas dan program studi yang sama, kelas kami pun sama. Itulah sebabnya, setiap hari kami ke kampus bersama-sama. Saat baru saja hendak kulajukan motor—yang dibelikan Bapak dua tahun lalu saat kami akhirnya sudah cukup umur berkendara—Bapak menyela agar Riza di boncenganku memakai helm-nya. Riza tidak mau, dia hanya memeluk helm merah jambu itu. Aku pun mematikan mesin motor.
“Riz, pakai saja,” kataku membela Bapak. Ini kebiasaan buruk Riza yang entah kapan akan diubahnya. “Apa, sih, susahnya pakai helm?” lanjutku kesal.
“Rez,” meski aku lahir dua puluh menit lebih awal dari Riza, dia tidak mau memanggilku dengan embel-embel ‘kakak’, “rambutku sudah cantik begini, masa harus kurusak dengan helm?” Aku melihat rambut panjang Riza yang keriting bervolume—hasil kerja kerasnya selama satu malam dengan alat sosis dan beberapa krim rambut. Aku mendengus.
“Riza, helm itu untuk melindungi kepala, Nak,” kata Bapak mengingatkan. Lelaki bertubuh tinggi kurus dengan beberapa uban itu menambahkan, “Kamu lebih memilih keindahan rambut atau keamanan kepala? Keselamatan itu nomor satu.”
Riza bersungut-sungut sambil memakai helm dengan sangat tidak ikhlas. “Nah, rusak, ‘kan?” Dia melepasnya lagi, memasangnya lagi, melepasnya lagi, lalu bercermin di spion. “Jalan!” katanya padaku setelah kembali ke boncengan dengan helm di kepala.
***
Kuempaskan tubuhku yang lemas tanpa daya di kursi kayu panjang yang sandarannya menempel pada batang pohon ketapang. Pandanganku tertuju pada kelas A yang berjarak sekitar sepuluh meter di hadapanku. Kelas itu tampak dingin dengan pintu yang tertutup rapat. Lima menit lalu, drama pengusiran terjadi lagi di ambang pintu. Aku mendesah kecewa sambil memeluk tas ranselku. Di dalamnya ada tugas yang tidak akan dinilai Pak Robi, dan otomatis nilai akhirku di mata kuliah Kajian Prosa Fiksi akan berkurang, mungkin B, mungkin C, kuharap bukan D.
Pandanganku lalu tertuju pada Riza yang berjalan terseok-seok ke arahku. Kontur tanah menuju pohon ketapang ini memang agak membukit, dan dia memakai high heels setinggi telunjuk orang dewasa. Aku mendesah untuk gayanya hari ini. Dia tampak seperti SPG di toko sepatu. Kadang aku berpikir, aku dan Riza bukanlah anak kembar. Selain wajah kami yang identik, tidak ada lagi kesamaan di diri kami. Riza feminin, aku tidak. Riza susah diatur, aku lumayan penurut. Riza senang makan durian, aku mual bahkan hanya dengan mencium aroma buah berduri itu. Riza pembersih (terutama masalah kebersihan kamar), aku senang mengacaukan kamar sendiri. Riza pandai menari, aku tidak. Terlalu banyak perbedaan di antara kami.
“Uh, menyebalkan!” Riza duduk di sampingku, membuka tas untuk mencari kertas, lalu kipas-kipas. Aku memandang wajahnya dari samping. Kami benar-benar mirip: kulit putih, mata sipit, alis tebal, dan pipi tirus. “Ini semua gara-gara kamu, Rez,” ucapnya setelah beberapa saat.
“Bukannya gara-gara kamu?” protesku kesal. “Kamu, ‘kan, yang telat bangun, terus dandan seribu jam?”
 “Telat bangun hanya sepuluh menit, kok. Lagi pula, aku dandan tidak sampai seribu jam, kali, tidak usah hiperbolis.” Dia berhenti mengipas, lalu memandangku dengan mata yang sok dibesar-besarkan. “Kamu, ‘kan, yang bawa motor kayak jalannya bebek-bebek lagi rematik?”
Aku ikut-ikutan melotot. “Tadi jalanan macet, Riz, kita harus hati-hati.”
“Bilang saja takut!” Riza mencibir, lalu kembali kipas-kipas. “Kalau aku yang bawa, kita pasti tidak akan diusir kayak tadi. Uh, memalukan!”
“Kalau kamu yang bawa motor,” timpalku, “pasti sekarang kita lagi di UGD.”
“Uh!” Riza membuang muka. Dia pasti menyadari kebenaran kata-kataku, hanya saja gengsinya terlalu tinggi untuk mengakui. Dua kali dia memboncengku ke kampus, dua kali pula kami terjatuh di jalan. Untung saja keduanya hanya menyisakan memar-memar di tangan dan kaki, tapi aku terlanjur trauma dibonceng kembaranku ini. Dia selalu melaju dengan kecepatan tinggi. Dibonceng Riza, tubuhku seolah sedang terbang, dan itu lebih mengerikan dari film horor mana pun di muka bumi.
“Pak Robi juga, sih,” Riza berkata lagi, “telat sepuluh menit saja sudah disuruh ‘tutup pintu dari luar’.” Empat kata terakhirnya itu meniru gaya bicara Pak Robi beberapa menit lalu. “Kayak tidak tahu saja kalau jalanan di kota ini selalu macet!”
“Macet bukan alasan, Riz,” sahutku mengingatkan. “Memang benar, sih, kata-kata Pak Robi tadi. Kalau dia dan teman-teman lain bisa sampai tepat waktu, kenapa kita tidak? Nah, jawabannya, karena kamu telat bangun dan kebanyakan gaya. Lagi pula, kita ini calon guru, memang harus disiplin.”
“Ah, terserah, deh!” sahut Riza cuek. Sesaat kemudian, wajahnya semringah, “Daripada kayak orang bego di sini, mending kita ke kantin, yuk.” Dia menarik tanganku, dan aku menurut dengan mudahnya.

12 Juni 2015
Ada sekitar dua ratus siswa kelas dua belas berkumpul di aula ini, aula SMA Harapan Bangsa. SMA ini merupakan salah satu sekolah swasta yang tingkat kenakalan para siswanya sangat memprihatinkan. Hari ini, seminggu sebelum pengumuman kelulusan, dalam rangka menumbuhkan kesadaran berlalu lintas kepada anak-anak muda, SMA Harapan Bangsa bekerja sama dengan kepolisian daerah, mengadakan penyuluhan terkait ketertiban berlalu lintas. Ada tiga pemateri yang akan menyuluh, salah satunya … aku.   
Sepuluh menit menuju acara. Aku sudah bersiap di atas panggung dengan seragam kepolisianku. Aula seluas setengah lapangan bola kaki ini terdengar riuh rendah. Para siswa ada yang telah duduk tenang di kursi-kursi yang berjajar rapi di hadapanku, ada pula yang masih mondar-mandir, berceloteh dengan suara nyaring, saling lempar kertas, dan ada juga yang asyik di dekat pintu masuk—melihat-lihat sekitar dua puluh helm dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) yang akan dibagikan gratis kepada para siswa yang aktif dalam diskusi nanti. Selain para siswa, telah hadir pula beberapa guru dan staf. Semuanya berpakaian bebas rapi, karena sekarang Minggu. Minggu yang cerah. 
Pandanganku lalu terarah ke sebuah meja besar yang berada di samping kanan tembok aula. Meja itu digunakan sebagai tempat menyimpan kotak-kotak makanan. Seorang perempuan berkemeja biru dengan rok hitam selutut, masuk dari pintu samping, membawa sebuah nampan bundar berpenutup logam ke meja itu. Mataku langsung membulat sempurna diikuti jantung yang berdetak kencang sedetik. Perempuan itu sangat familier di ingatanku. Rambut panjang menyentuh siku, mata sipit, kulit putih, dia … dia perempuan yang menolongku lima tahun lalu. Aku langsung bangkit dari kursi, dan berjalan cepat untuk menghampirinya. Tetapi, pembawa acara yang mulai memanggil para siswa untuk segera mengambil tempat duduk, membuat langkahku terhalang kerumunan. Saat tiba di meja konsumsi ini, perempuan itu telah pergi. Aku langsung menahan seorang siswi, menyebutkan ciri-ciri perempuan yang tengah kucari. 
“Oh,  guru bahasa Indonesia,” sahutnya dengan wajah serius.
“Namanya siapa?” tanyaku tak kalah serius.
Anak di hadapanku ini memandangku dengan tatapan menyelidik, kemudian sudut-sudut bibirnya tertarik. “Cie, cie, Om polisi suka, ya, sama bu guru?”
Aku mengernyit. Alih-alih menjawab pertanyaanku, anak ini langsung berbalik pergi. Aku mengernyit lagi, kemudian menengok ke kiri dan kanan, hingga akhirnya kuseret langkah gontaiku kembali ke kursi.   

23 Agustus 2010
Bapak adalah seorang tukang batu yang lima tahun lalu harus mengurusi kedua anak kembarnya seorang diri. Ibu meninggal karena penyakit asma yang sudah lama dideritanya. Sudah sering Bapak meninggalkan aku dan Riza berdua di rumah untuk urusan pekerjaan. Tadi pagi Bapak pamit untuk mengerjakan sebuah mal di pusat kota. Untuk menghemat biaya transportasi, Bapak hanya akan pulang dua kali seminggu.
“Rez, besok aku pakai motor, ya?” Riza tiba-tiba muncul di belakang kursiku, menepuk pundakku. Aku menutup diktat yang tengah kubaca.
“Untuk apa?” tanyaku penasaran.
“Aku sama anak-anak Full Dance mau ke air terjun yang di Desa Rumba, kamu tahu, ‘kan? Kalau kamu mau ikut, boleh banget, loh. Anak-anak Full Dance seru-seru semua, kok.”
Aku tahu air terjun itu, lokasinya sekitar lima puluh kilometer dari sini. Aku juga tahu anak-anak Full Dance, mereka adalah enam orang cewek-cewek kampus yang suka pop dance, termasuk Riza. “Kita ada ujian tengah semester hari Senin, Riz. Daripada kamu main-main tidak jelas, lebih baik belajar.”
Riza tertawa. “Itu bukan main-main, Rez, tapi refreshing di hari Minggu. Ujian, mah, gampang!” 
Aku mendengus. “Memangnya kamu sudah minta izin sama Bapak?”
“Itu juga gampang!” Riza mengibas rambut panjangnya yang sekarang sudah diluruskan. “Tinggal SMS, beres, deh!”
***
Aku menggeleng putus asa melihat kelakuan Riza di halaman belakang rumah kami. “Kamu apakan motor kita, Riz?” Motor di hadapanku telah kehilangan dua spionnya.
“Cantik, ‘kan?” Riza malah merentangkan kedua tangan dengan senyum mengembang.
Aku terdiam, bingung mau berkata apa lagi. Aku mengenal Riza, kemampuan akademisnya berkategori baik sejak sekolah dasar. Dia cukup mudah menyerap materi yang diberikan guru. Namun, untuk menyerap nasihat-nasihat Bapak tentang keselamatan berkendara, kemampuannya sangat buruk.
“Spion ibarat mata belakang kita saat berkendara, Riz.” Aku membungkuk meraih dua spion yang tergeletak di tanah. “Kaca spion ini bisa mencegah tabrakan dengan pengendara lain.” Aku mendesah. “Memangnya jalan raya punya nenek moyangmu?”
“Jalan menuju air terjun itu sepi, kok, Rez. Tidak banyak orang, tidak akan ada polisi. Aman, pokoknya.”
“Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Riz.” Aku memandangnya dengan ekspresi dingin. “Aman itu kalau kita naik motor pakai helm, spion lengkap, kondisi motor prima, jalannya hati-hati, bawa SIM, STNK.” Aku mulai emosi. “Nih,” kataku seraya mengentakkan kedua spion di jok motor, “pasang kembali atau kutelepon Bapak.” Aku pun berbalik pergi.
“Sewot banget, sih!” teriaknya saat tubuhku mencapai meja makan.
Aku berbalik memandangnya melalui pintu dapur yang terbuka lebar. “Itu karena aku sayang sama kamu, Riz. Itu karena aku kasihan sama Bapak yang kerja banting tulang untuk kita. Kalau terjadi apa-apa sama kamu, Bapak juga yang susah. Tolong, tolong kamu mengerti keadaan kita.”
Dan, hening. Riza tidak lagi membalasku. Kuharap, dia memang sudah menyadari kekeliruannya selama ini.

12 Juni 2015
       “Almarhum Ayah saya adalah seorang polisi. Beliau sangat menginginkan saya—sebagai anak lelaki satu-satunya di keluarga—mengikuti jejaknya. Hingga beliau wafat, saya tidak bisa mewujudkan keinginan itu. Jujur saja, saya ingin menjadi seorang banker, karena itu saya kuliah di jurusan ekonomi.” Aku cukup senang melihat para siswa di hadapanku menyimak. Sejak awal sudah kukatakan bahwa aku tidak akan memberi banyak materi. Aku akan berbagi pengalaman.
“Rumah saya berada di Desa Rumba. Kalian pasti tahu, desa itu terkenal dengan wisata air terjunnya.” Respons kecil kudapat dari hadirin, tidak tertangkap jelas, maka kulanjutkan kata-kataku. “Saat kuliah, saya indekos di dekat kampus, tapi setiap Sabtu saya menyempatkan pulang kampung. Ke mana-mana saya naik motor, begitu juga saat pulang kampung.”
Aku menelan ludah. Ini saatnya berkata jujur tentang kebiasaan burukku di masa lalu. “Dulu, saya bukan pengendara motor yang baik. Saya jarang memakai helm, sering mengebut, kadang-kadang saya juga menerobos lampu merah. Itu bukan hal yang baik, Adik-Adik, jadi jangan ditiru. Jangan ditiru kalau kalian tidak mau menyesal!” Aku sedikit berteriak di depan mikrofon. “Saya sudah mengalaminya, mengalami penyesalan luar biasa. Kalian tahu, saya pernah kecelakaan motor yang membuat saya koma beberapa hari. Bangun dari koma, saya masih harus menjalani serangkaian pengobatan yang menyakitkan dan melelahkan, membuat saya pun harus cuti kuliah selama dua semester. Kerugian itu masih diperparah dengan utang yang harus dipikul keluarga saya demi membayar biaya pengobatan yang jumlahnya menyentuh angka ratusan juta.”
Jeda pendek kubuat untuk menghela napas. Di saat inilah, mataku kembali menangkap sosok penyelamatku saat kecelakaan dulu. Perempuan itu duduk di kursi deretan ketiga dari belakang. Dadaku tiba-tiba saja disesaki kebahagiaan. Lebih tepatnya … lega, karena setelah sekian tahun akhirnya sebentar lagi aku bisa mengucapkan terima kasih padanya. “Kecelakaan itu,” lanjutku, “kecelakaan motor yang menimpa saya saat itu murni kesalahan pribadi. Saat itu … saya tengah melaju kencang. Dari arah belakang, sebuah truk pengangkut kayu mendahului motor saya. Tiba-tiba saja saya berpikir untuk mengejar mobil itu. Bayangkan, betapa bodohnya pikiran dan tindakan saya saat itu. Itu bukan tindakan terpuji, Adik-Adik, itu tindakan cari mati. Saya mengejar mobil itu dan terus mengejar. Pada akhirnya, motor saya tersenggol keras oleh badan truk. Saya terlempar, terlempar, dan terlempar, hingga tubuh saya menabrak sebuah pohon mahoni.”
Aku melihat ke arah perempuan penyelamatku. Dia menunduk. Aku berharap perempuan itu masih mengenali wajahku. “Di bawah pohon itu,” lanjutku, “saya masih sadar, tetapi luar biasa kesakitan. Tempat itu sunyi, dan saya rasa tidak akan diberi napas lagi oleh Tuhan. Di saat itulah saya menyesali semuanya. Saya berjanji, apabila masih diberi kesempatan hidup, saya akan menjadi pengendara yang baik, yang patuh terhadap peraturan lalu lintas. Saya juga berjanji akan menjadi seorang polisi untuk mewujudkan mimpi mendiang Ayah. Lebih dari itu, menjadi polisi lalu lintas bisa membuat saya turut membantu pengguna jalan menikmati perjalanannya agar aman dan selamat sampai tujuan. Bersyukur, sekarang saya bisa mewujudkan janji itu, dan saya tidak menyesal meninggalkan kuliah di ekonomi.”
“Jadi, kalian pasti tahu akhirnya.” Bibirku melengkung tipis. “Ya, ada seseorang yang dikirimkan Tuhan untuk membantu. Orang itu datang dan langsung membawa saya ke rumah sakit. Saya sangat bersyukur atas pertolongannya. Tapi, sampai sekarang kami belum pernah bertemu lagi.”
***
“Oh, ya?” kataku kepada lelaki bernama Bagas yang baru saja mengaku sebagai orang yang kutolong lima tahun lalu. Katanya, dia sangat mengenali wajahku. Sebaliknya, aku tidak mengingat wajahnya. “Kamu yakin?” tanyaku setelah menghabiskan air mineral kemasan di tanganku.
Dia mulai terlihat tidak yakin. “Kamu benar-benar yakin tidak mengenaliku?” Dia balik bertanya, tampak agak kecewa.
“Sebenarnya, aku punya kembaran,” kataku dengan ekspresi murung. “Wajah kami identik.”
“Oh, ya?” Sekarang, Bagas-lah yang tampak kaget. “Apa mungkin—?”
“Dia sudah meninggal,” timpalku. “Dia meninggal satu hari setelah kecelakaan yang menimpamu.”

24 Agustus 2010
Dering ponsel di kantung apron yang tengah kukenakan membuatku menghentikan sejenak kegiatan mengiris-iris kacang panjang. Riza yang menelepon. Aku semringah. Ternyata, dia mengingat pesanku untuk langsung mengabari saat telah tiba di lokasi air terjun.
“Iya, saya Reza, saudara kembar Riza.” Kenapa orang yang menelepon justru tidak yakin dengan nama orang yang dia telepon? “Maaf, dengan siapa? Mm, Riza mana, ya?”
“I-ini temannya Riza di Full Dance.” Suara perempuan di seberang terdengar ragu-ragu. “Riza … Riza kecelakaan, motornya tabrakan dengan mobil. Sekarang … dia baru saja masuk UGD di puskesmas Desa Rumba. Tidak ada rumah sakit di sini.”
“Kenapa bisa? Apa yang terjadi?” Suaraku bergetar hebat. Kurasakan mataku basah.
“Riza melaju kencang,” sahut perempuan di seberang. “Dari arah berlawanan, sebuah mobil juga melaju kencang. Dan, tabrakan pun terjadi. Semua terjadi begitu cepat.”
Aku mendengar penjelasan demi penjelasan perempuan di seberang dengan tubuh lemas, dada sesak, dan jantung yang sesekali berdesir takut. Setelah menutup telepon, aku langsung melepas apron, meraih dompet, memakai topi cokelat, mengunci pintu rumah, dan langsung kularikan tubuh mencari ojek. Aku harus segera sampai di tempat rental mobil.
Dan, di sinilah aku setelah tiga puluh menit yang alot, duduk di depan kemudi sebuah mobil sedan putih tulang. Mobil kupacu dengan kecepatan sedang. Mengendarai mobil bukan hal sulit untukku. Setahun lalu aku ikut kursus (dan telah lulus ujian mengemudi) dengan alasan ingin menambah pengetahuan berkendara. Nyatanya, hari ini, keinginan iseng itu memiliki manfaat.      
Aku terus memacu mobilku. Saat ini, rasanya, sudah nyaris setengah perjalanan. Di benakku hanya ada keinginan untuk segera membawa Riza ke rumah sakit provinsi. Tiba-tiba, dari jarak sekitar sepuluh meter, kulihat sebuah motor tergeletak di pinggir jalan. Mula-mula adalah motor, lalu … tubuh seseorang.
Seketika saja serangan bimbang melandaku. Aku bimbang. Sangat bimbang.

12 Juni 2015
“Aku turut berduka cita,” kataku seraya menghentikan langkah di bawah sebuah pohon. Reza turut berhenti di sisiku. Aula telah beberapa puluh meter di belakang kami. “Apa saudara kembarmu meninggal … karena terlambat ditangani? Maksudku, apa karena kamu mengantarku lebih dulu ke rumah sakit provinsi, jadi saudaramu—”
“Tidak,” selanya lirih. “Tidak seperti itu.” Dia menunduk sempurna, kutahu ada kesedihan yang hendak dia sembunyikan. “Kurasa, lebih tepatnya adalah … karena orang-orang selalu terlambat menyadari akibat-akibat fatal dari kebiasaan buruk yang melekat di dirinya masing-masing, dalam hal apa pun, termasuk dalam hal berkendara.”
“Ya,” sahutku membenarkan ucapannya. “Aku tidak pernah berpikir panjang saat dulu kebut-kebutan di jalan. Aku terlalu sok saat itu. Sok hebat, sok bisa melaju paling kencang, padahal jalanan bukan untuk adu kecepatan.” Aku tertawa sinis, mengejek diri sendiri.
Reza mengangkat wajahnya. Kabut kehilangan tampak jelas di mata sipitnya. “Riza sudah kritis saat dibawa ke puskesmas. Saat aku tiba pun, dokter tidak menyarankan Riza dibawa ke rumah sakit lain. Kondisinya masih lemah untuk sebuah perjalanan darat puluhan kilometer.”
Sesaat hening. Saat kuangkat sedikit kepalaku, baru kusadari bahwa pohon tempat kami kini bernaung adalah juga mahoni, pohon yang sama dengan titik tempat Peristiwa Besar-ku terjadi lima tahun lalu.
“Aku minta maaf,” katanya seraya memandangku sekilas.
Aku seketika merasa tidak enak. “Minta maaf untuk apa? Tidak perlu. Justru seharusnya akulah yang minta maaf.”
Seolah tidak mendengar kata-kataku, Reza menambahkan, “Aku minta maaf karena waktu itu langsung meninggalkanmu di rumah sakit. Aku juga minta maaf karena tadi tidak langsung mengiyakan bahwa aku pernah menolongmu—”
“Oh, kamu sangat baik,” tukasku dengan penuh kejujuran. “Apa yang bisa kulakukan untuk membalas semua kebaikanmu, Rez?”
Reza memandang beberapa lembar daun mahoni yang terjatuh, lalu berkata, “Jadilah polisi lalu lintas yang bermartabat. Bekerjalah semaksimal mungkin untuk menghindari semakin banyak korban di jalanan. Aku yakin itu mudah untukmu, karena kamu bekerja dari hati.”
Disaksikan sebatang pohon, lagi-lagi adalah mahoni, aku berjanji pada Reza, perempuan penyelamatku lima tahun lalu, bahwa aku akan melakukan keinginannya itu. Melakukannya sepenuh hati.  

*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com

Kamis, 02 Juli 2015

Terus Bergegas, GagasMedia!


Memeriahkan ulang tahun GagasMedia ke-12, penerbit ini kembali berbagi banyak kebahagiaan kepada pembaca setianya. Salah satunya adalah dengan mengadakan event "Kado untuk Blogger". Bagi yang ingin ikutan, silakan mengecek syarat dan ketentuannya di poster berikut:


Nah, tentu saja saya (juga) tertarik untuk berpartisipasi. Oke, ayo simak jawaban-jawaban saya berikut ini:

1. Sebutkan 12 judul buku yang paling berkesan setelah kamu membacanya!

Agak sulit memilih hanya 12 judul, mengingat banyak sekali buku (lokal maupun terjemahan) yang sangat berkesan bagi saya, baik novel, buku kumpulan cerpen, maupun buku kumpulan puisi. Baiklah, saya akan memilih 6 buku lokal dan 6 buku terjemahan yang PALING BERKESAN bagi saya, sebagai berikut:
1. Interlude karya Windry Ramadhina
2. Kei: Kutemukan Cinta di Tengah Perang karya Erni Aladjai
3. People Like Us karya Yoshepine Monica
4. Sunshine Becomes You karya Ilana Tan
5. Sagra (Kumpulan Cerpen) karya Oka Rusmini
6. Gugusan Mata Ibu (Kumpulan Puisi) karya Raudal Tanjung Banua
7. Ways to Live Forever (Setelah Aku Pergi) karya Sally Nicholls.
8. Looking for Alaska (Mencari Alaska) karya John Green
9. The Fault in Our Stars karya John Green
10. The First Phone Call from Heaven karya Mitch Albom
11. Catalyst (Katalis) karya Laurie Halse Anderson
12. Breakfast at Tiffany’s karya Truman Capote

Koleksi Pribadi

2. Buku apa yang pernah membuat kamu menangis? Kenapa?

Saya adalah pembaca yang menyukai buku (khususnya novel) yang menghadirkan kisah menyedihkan dari salah satu atau beberapa tokohnya, namun dari kisah sedih tersebut saya bisa memetik banyak pesan moral yang terkandung di dalamnya. Satu buku yang telah berhasil membuat saya menangis karena dua unsur tersebut adalah: Looking for Alaska (Mencari Alaska) karya John Green. Saya benar-benar menangis membaca buku tersebut. Ya, menangis! Bukan berkaca-kaca atau sekadar merasakan hati yang menghangat. Itu terjadi saat Alaska “pergi”. Alaska yang selalu membuat ulah, Alaska yang penuh masalah, ketika “pergi” justru membuat semua teman-temannya (termasuk saya) sangat kehilangan. Mengapa? Karena Alaska punya "sesuatu". Yang paling mengharukan adalah di bagian ketika Pudge dan Kolonel hendak menuju aula olahraga, lantas mencari-cari keberadaan Alaska (padahal "kepergian" Alaska-lah yang menyebabkan mereka dikumpulkan di ruangan tersebut). Sangat menyentuh.   

3. Apa quote dari buku yang kamu ingat dan menginspirasi?

Quote dari novel Supernova: Partikel karya Dee. Ketika membacanya (pertama kali) sukses membuat saya terperangah, lantas membatin, Ya, Dee benar sekali. Alhasil, quote tersebut terus melekat di benak saya hingga kini. Ini dia quote yang saya maksud: “Kalau lawan bicaramu mendengar dengan sepenuh hati, beban pikiranmu menjadi ringan. Kalau kamu malah tambah ruwet, meski yang mendengarkanmu tadi seolah serius mendengar, berarti dia tidak benar-benar hadir untukmu."

Quote tersebut menginspirasi saya untuk selalu menjadi pendengar yang baik: bahwa setiap orang yang mencurahkan perasaannya sangat membutuhkan "telinga" yang benar-benar mendengar. Jangan sampai mereka bertambah pusing atau malah merasa was-was setelah berbagi dengan kita. Kita harus membuat mereka mendapatkan solusi atau setidaknya merasa lega setelah bercerita.

4. Siapakah tokoh dalam buku yang ingin kamu pacari? Hayo, berikan alasan kenapa kamu cocok menjadi pasangannya.

Brins Van Hoye di novel Bersetia-nya Benny Arnas. Saya cocok sama dia karena … *uhuk* di novel digambarkan sosok cewek idaman Brins. Nah, cewek kriteria Brins itu “saya” banget. Sederhana, pendiam, tidak cemburuan *abaikan*. Lagi pula, Brins itu cowok idaman saya juga. Alim, setia, romantis. Mudah-mudahan bisa jadi Couple of The Year. Hahaha #DasarJomblo.  

5. Ceritakan ending novel yang berkesan dan tak kamu lupakan!

Ending novel Sunshine Becomes You: Alex membuka rekaman video (camcorder) dari Mia Clark. Di bagian itu dia akhirnya mendengar apa yang selama ini ingin dia dengar dari mulut Mia. Sayangnya, mereka tidak lagi bisa bersatu.

6. Buku pertama GagasMedia yang kamu baca dan kenapa kamu memilih itu?

Brownies-nya Fira Basuki. Saya punya cetakan ketiga (Desember 2004), tapi saya membelinya di awal-awal kuliah, sekitar enam tahun silam.

Koleksi Pribadi

Alasan membeli adalah nama besar Fira Basuki dan gambar cewek di sampul depan yang cantik jelita. Sampai sekarang masih bertanya-tanya, cewek itu siapa, ya? *BelumBerencanaGoogling* ^^

7. Dari sekian banyak buku yang kamu punya, apa judul yang menurutmu menarik? Kenapa?

Sunshine Becomes You, Interlude. Menarik karena (1) Saat diucapkan memiliki nilai estetis tersendiri, seolah-olah seluruh alat artikulasi ikut menari balet (bersama Mia) sambil diiringi petikan gitar (Kai), (2) “Misterius” karena judul-judul tersebut tidak "menjelaskan" terlalu banyak tentang isi cerita, namun memiliki daya pikat tersendiri dari makna harfiahnya. 

8. Sekarang lihat rak bukumu, cover buku apa yang kamu suka? Kenapa?

Uwaaa, banyak yang saya suka. Saya pilih tiga, ya. (1) Perahu Kertas, (2) Interlude, dan (3) Yang Menunggu dengan Payung (Kumpulan Cerpen).


Saya menyukai ketiganya karena terlihat sangat artistik. Saya menyukai sampul yang artistik dan agak abstrak seperti ketiganya, karena ketika saya berhenti membaca dan melihat sampulnya, mata saya termanjakan, lalu imajinasi saya bisa mengembara (menghubungkan jalan cerita dengan sampul).  

9. Tema cerita apa yang kamu sukai? Kenapa?

Saya menyukai tema-tema yang mengangkat kehidupan remaja (Young Adult) dan disajikan secara realistis, misalnya mengangkat masalah yang terjadi dalam lingkungan keluarga, masalah bullying di sekolah, masalah krisis kepercayaan diri yang membuat (tokoh) depresi, atau masalah persahabatan yang kompleks.

10. Siapa penulis yang ingin kamu temui? Kalau sudah bertemu, kamu mau apa?

Saya ingin bertemu J.K Rowling dan Sapardi Djoko Damono. Kepada J. K. Rowling, selain ingin minta foto dan tanda tangan, saya mau meminta agar diizinkan mengikuti aktivitas menulis Rowling selama sehari. Saya ingin tahu, di bagian mana dalam sudut rumahnya dia menulis, bagaimana ekspresinya ketika mengetikkan huruf-huruf, juga apa atau siapa saja yang menemaninya menulis. Saya ingin merekamnya dengan mata kepala saya sendiri, juga dengan mata kamera saya, untuk kelak saya bagikan ke semua orang.

Kepada Sapardi Djoko Damono, saya ingin bercakap-cakap dengan beliau, mau mendengar beliau bercerita tentang hujan, ketabahan, perjalanan hidup beliau sejak kecil, dan tentu saja tentang kepenulisan. Saya yakin, semua itu akan sangat menginspirasi.

11. Lebih suka baca e-book atau buku cetak?

Buku cetak. Entah mengapa, saya kurang bisa menghayati isi buku maupun jalan cerita sebuah buku ketika membaca e-book. Saya juga senang memegang sampul buku, mengamatinya, menggerakkan jari ke tiap-tiap gambar atau huruf-huruf di sampulnya ketika jeda membaca. Menurut saya, itu magis! ^^

12. Sebutkan 12 kata untuk GagasMedia menurutmu!

GagasMedia menurut saya: Inovatif. Total. Kreatif. Berkarakter. Artistik. Kompetitif. Variatif. Pionir. Fleksibel. Mencerdaskan. Inspiratif. Selamanya.    

Yeah, akhirnya terjawab sudah 12 pertanyaan dari GagasMedia. ^^ Wismilak, ya!

Terakhir, selamat ulang tahun ke-12 GagasMedia. Semoga semakin mencerdaskan bangsa dengan selalu menghadirkan buku-buku berkualitas di tanah air. Good Luck!