Selasa, 19 April 2016

[Resensi Novel Di Tanah Lada]

Mencari Makna, Mencari Kebahagiaan
Peresensi: Susi S. Idris
Judul Buku    : Di Tanah Lada
Pengarang     : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan        : Pertama, Agustus 2015
Tebal             : 244 halaman
ISBN            : 978-602-03-1896-7

Tidak ada anak-anak yang tidak menginginkan kebahagiaan. Tidak ada anak-anak yang menginginkan namanya bermakna ludah atau hanya berjumlah satu huruf. Tidak ada anak-anak yang tidak senang Papa dan Mama mereka penyayang. Semua anak sama saja: menginginkan kebahagiaan, menginginkan nama yang keren, tidak menginginkan orang tua yang jahat.

Salva, bocah perempuan enam tahun, menyadari bahwa Papa-nya adalah monster. Pengetahuan itu tertanam di benak Salva karena seumur hidupnya, Doni, sang Papa, adalah lelaki yang senang membentak, senang memukul, senang berjudi, dan tidak senang membahagiakan keluarga. “Mama tidak bisa jadi monster, karena Mama tidak kuat. Dia juga tidak suka marah-marah (hlm. 3).”

Demikianlah. Mama menjadi sosok baik dalam novel. Namun, baik pun memiliki kadar tersendiri. Pengarang membuat dikotomi baik dan buruk yang tidak mendewakan salah satu orang tua. Cerita, dengan demikian, menjadi sangat menohok.

Dikisahkan bahwa saat pindah ke rusun Nero, Salva (yang namanya sering diplesetkan menjadi Saliva oleh Papa-nya sendiri), bertemu seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun bernama P. Kehidupan P tidak jauh berbeda dari Salva. Salva tidur di koper, tidur di kamar mandi, sedangkan P harus menunggu hingga Papa-nya keluar rumah, barulah dia boleh masuk. Mereka adalah anak-anak korban kekerasan sang ayah, korban egoisme orang tua. Mereka tumbuh di lingkungan yang tidak harmonis, di tanah yang tidak menumbuhkan kebahagiaan. 

Alih-alih menghadirkan karakter yang lemah, Ziggy menjadikan Salva dan P sebagai anak-anak cerdas dan berbakat. Dua hal tersebut adalah sarana mereka “melawan” keadaan. Salva dengan pengetahuan bahasa Indonesia yang brilian, sedangkan P dengan kemampuan bermain gitar yang membuat kantung celananya selalu berisi uang. Keduanya adalah anomali. Anak usia enam tahun umumnya belum mengetahui makna “bengis”. Anak usia sepuluh tahun umumnya belum mengetahui cara membuat tempat tidurnya sendiri. Anak usia enam dan sepuluh tahun umumnya tidak (mampu) membicarakan reinkarnasi. Tetapi, Salva dan P tahu. Keduanya mampu, dan Ziggy tidak sedang menceracau. Pengarang adalah penggagas yang berani.

Pertama, Ziggy berani memberi Salva usia enam tahun, hanya enam, dan itu bukan kenekatan. Ziggy—di beberapa bagian—hanya nekat berbisik kepada tokoh utama. “Suara” orang dewasa terasa pada beberapa penjabaran Salva terkait ingatan-ingatannya, gagasan, maupun simpulan yang dia buat. Meski terlampau spesifik untuk anak seusianya, hal tersebut bisa dinomorduakan, karena dari “mulut” Salva (autentik Salva), terasa kejujuran, kelucuan, kepedulian, ketakutan, mimpi-mimpi bersahaja. Apa lagi yang merisaukan pembaca jika hal-hal tersebut mampu menghangatkan? Hangat seperti lada.

Kedua, Ziggy berani “memasukkan” kamus bahasa Indonesia di ransel Salva. Kamus dan pemiliknya yang masih bocah adalah dua keunikan Di Tanah Lada. Tidak ada tokoh novel berusia enam tahun yang membawa kamus ke mana pun pergi. Tidak ada tokoh novel berusia enam tahun yang memikirkan calon entri. “Kalau aku membuat kamus, aku akan memasukkan ini di dalamnya: Tanah lada [kb.]: tanah yang menumbuhkan kebahagiaan (hlm. 217).”  
         
Mencari Makna di Kamus, Menemukan Kebenaran di Dunia Nyata
Berkat kamus bahasa Indonesia yang diberikan Kakek Kia kepada Salva, bocah itu mampu mengetahui makna kata sukar yang diucapkan orang dewasa maupun yang tertulis di buku. Banyak makna yang diperoleh Salva dari kamusnya. Makna leksikal berkelindan dengan makna kontekstual, menjadikan Di Tanah Lada sarat kritik sosial atas maraknya kekerasan fisik maupun verbal kepada anak-anak. Kritik menjadi tidak menyebalkan, karena Salva dan P memiliki interpretasi masing-masing terhadap makna yang mereka peroleh. Lucu, lugu, terkadang menyentuh. Misalnya, ketika Salva dan P menemukan makna kata “jalang” di kamus. P, dengan murung, mengatakan bahwa dia jalang, karena tidak dipelihara siapa-siapa (hlm. 193).

Identitas orang tua P serta alasan-alasan mereka menjadi orang tua yang tidak becus mengurus anak adalah “kebenaran” yang disembunyikan sejak awal novel. Pengarang menjadikan informasi tersebut sebagai kejutan yang membuat Di Tanah Lada layak dituntaskan. Apalagi, daya kejut tidak berakhir di bagian itu saja. Masih ada kejutan terakhir yang membuat “cerita Salva” tidak bisa berlanjut. “Semua kebenaran yang tidak pernah kupahami, kupahami di detik itu. Tentang Mama, tentang Papa, tentang Kakek Kia …. Tentang P. Tentang aku (hlm. 240).” 
 
Ziggy, mengenai “kebenaran” yang terlambat diungkap, menyentak pembaca melalui dampak psikologis yang dirasakan P. Kecewa, marah, sedih, senang, sungkan, dirasakan bersamaan oleh anak sepuluh tahun tersebut. Perasaan yang mewakili jutaan perasaan anak-anak di dunia nyata ketika mengetahui bahwa dirinya telah dibohongi Papa dan Mama mereka.

Mencari Kebahagiaan di Tanah Lada
Salva dan P adalah anak-anak yang mencari kebahagiaan mereka sendiri. Hidup keduanya diliputi ketakutan dan kebingungan, nyaris setiap saat. Hal tersebut, sayangnya, bersumber dari orang tua mereka sendiri. “Di rumah, aku selalu berhati-hati kalau mau menonton televisi. Soalnya, Papa bisa masuk dan marah kalau aku ‘membuat mahal biaya listrik’ (hlm. 93).” 

Ketakutan tersebut tidak berlaku ketika Salva memutuskan ikut P, kembali ke rusun Nero. Meskipun rusun Nero bukan tempat pulang yang aman, di sana ada Papa, ada Kak Suri yang sering menyelamatkan P dari amukan Papa-nya, juga ada Kak Alri, lelaki yang mengajari P bermain gitar. Di bagian tersebut, Ziggy memperlihatkan keluhuran hati anak-anak. Betapa setia kawan, cinta kepada orang tua, tetap tumbuh di hati Salva dan P, meskipun keduanya adalah anak-anak korban KDRT.

Kesuraman hari-hari Salva dan P, menemui titik terang ketika Salva teringat kampung halaman neneknya. Pada akhirnya, sebuah perjalanan jauh ditempuh Salva dan P. Dari tanah di rusun Nero, keduanya menuju kampung Nenek Isma, kampung yang dijuluki Tanah Lada, tanah yang menurut mereka akan menumbuhkan kebahagiaan, hanya karena (sepengetahuan Salva) neneknya tersebut hidup bahagia di sana.

Berbekal alamat yang ditulis di kamus, sepeda pemberian, uang hasil bernyanyi dan menjual ponsel, akankah keduanya sampai di tempat tujuan? Akankah sampai di kebahagiaan?

Kebahagiaan untuk Salva dan P adalah tujuan akhir Di Tanah Lada. Ziggy tidak mengakhirinya dengan pola umum, seperti: Papa dan Mama yang (akhirnya) menyadari kesalahan, kembali akur, lalu Salva dan P hidup bahagia dengan kasih sayang orang tua masing-masing. Tidak demikian di novel ini. “Mungkin, kami memang bisa bahagia, kalau kami selamanya bersatu bersama tanah ini. Kami akan tumbuh dalam kebahagiaan. Kami akan tumbuh menjadi kebahagiaan (hlm. 236).” 

Demikianlah. Salva dan P akhirnya meraih kebahagiaan di Tanah Lada, meskipun kebahagiaan itu pun taksa adanya.