Kamis, 15 Mei 2014

[DIARY SANG ZOMBIGARET]

Rokok Bikin Kagok*
Karya Susi S. Idris

Januari 2014
        Kupandangi kamar kos berukuran 4 × 4 meter ini dengan tatapan sendu. Kemarin aku masih ada di rumahku yang mewah, sekarang aku harus tinggal di kamar pengap dengan lantai semen dan dinding tripleks seperti ini.
        “Semuanya salah, Mas. Sudah kubilang sejak kita pacaran dulu, jangan merokok! Tapi Mas nggak mau dengar,” ucap istriku sambil melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam kardus. Rumah mewah kami dan semua isinya telah disita oleh pegadaian, karena kami tak mampu membayar cicilannya hingga jatuh tempo kemarin. Rumah itu memang terpaksa kami gadaikan untuk biaya pengobatan kanker mulut akut yang kuderita.
        Aku hanya bisa diam mendengar ocehan istriku. Sebenarnya ingin sekali kukatakan kalimat penyesalanku, tetapi tak satu pun kata bisa keluar dari mulutku yang sakit ini. Akhirnya semua kata-kata di benakku lesap jadi air mata.
        Melihat tumpahan air mataku, istriku mendesah, kemudian menyodorkan tisu padaku. “Nggak usah nangis, Mas. Semuanya udah terjadi, kita nggak mungkin bisa kembali ke masa lalu.”

Juli 2004

        “Hans, kamu merokok, ya? Merokok itu nggak baik untuk kesehatan, Sayang. Banyak orang meninggal karena rokok.”
        “Kamu tenang aja, Yes. Itu hanya omong kosong kok. Orang meninggal ya karena sudah ajal.”
        “Iya, tapi kalau penyebab meninggalnya karena kanker paru-paru, dan kanker itu disebabkan karena kebiasaannya merokok, ya tentu menyedihkan.”
        “Terserah kamu deh, yang penting kita masih pacaran kan?”
        “Asal kamu nggak merokok lagi.”
        “Mm.”
 ***
        Aku tidak pernah kelihatan merokok lagi di hadapan kekasihku itu. Aku pun selalu menggosok gigi dan makan permen wangi sebelum ketemuan dengan Yessi. Namun, diam-diam aku masih selalu mengisap benda itu.

Februari 2014
        Bubur nasi di hadapanku belum kusentuh. Hanya makanan inilah yang kini bisa kumakan dengan kondisi bibir dan gusi yang bengkak.
        “Dimakan dong, Mas,” ucap istriku yang sedang berdandan di depan cermin. “Nanti Mas mati kalau nggak makan.”
        “Kao … mohema … na?” tanyaku sambil menahan nyeri di mulut setelah menelan sesendok bubur. Istriku berbalik dan melongo. Ia mungkin bingung dengan kata-kataku.
        “Oh, aku mau pergi cari kerja dulu, Mas. Kalau tidak ada yang kerja, bisa-bisa kita diusir dari kamar ini,” ucap Yessi seraya mengambil sepatunya dan bergegas pergi. Dadaku sesak bukan main. Aku merasa menjadi suami yang tidak berguna lagi.

Maret 2014
        Aku terus melap pendarahan di gusiku dengan sapu tangan. Sejak pindah ke kos ini, aku tak lagi melakukan kemoterapi karena keterbatasan biaya. Hari-hari hanya kuisi dengan melamun di depan jendela, menahan sakit, menunggu maut.
        Tiba-tiba perutku keroncongan. Aku langsung melirik jam di dinding. Sudah pukul 16.15 dan aku belum makan sejak pagi. Hampir dua minggu ini Yessi selalu pergi pagi-pagi sekali dan pulang menjelang magrib. Katanya dia bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran. Aku tidak mempermasalahkan pekerjaannya. Yang kusedihkan, akhir-akhir ini Yessi tidak pernah lagi membuatkanku sarapan.
        Aku berdiri dari kursi plastikku dan mencari-cari uang di laci dengan tangan yang gemetar. Ada dua uang koin seribu rupiah. Aku langsung mengambilnya dan segera keluar kamar untuk membeli bubur instan di warung.
        Dengan tertatih-tatih aku berjalan menuju sebuah warung di ujung lorong. Darah dari  mulutku terus mengalir dan aku lupa membawa sapu tangan. Di tengah jalan, tiba-tiba segerombolan anak kecil meneriakiku dengan sebutan … Zombi.
        “Eh, liat dia! Dia mirip Zombi!”
        “Hahaha … iya, dia Zombi.”
        Ketiga anak kecil ini lalu bertepuk tangan sambil mengentak-entakkan kakinya di tanah. Mereka lalu berteriak dengan nada yang kompak. “A-da Zombi, a-da Zombi, a-da Zombi.” Aku menatap kesal pada mereka. Semuanya pun bergegas lari.
        Aku tidak jadi ke warung dan segera kembali ke kamar dengan perasaan sedih. Di kamar aku buru-buru mengambil cermin milik istriku. Saat pantulan wajahku terlihat di cermin bundar ini, tubuhku mendadak gemetar.
        Tidaaak, aku bukan Zombi! Teriakku tanpa suara.

* Kagok adalah (1) susah atau menjadi terhalang untuk melakukan sesuatu; (2) sulit melafalkan kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar