Jumat, 29 November 2013

[RESENSI NOVEL 12 MENIT]

MIMPI-MIMPI YANG DIPERJUANGKAN SEPENUH HATI
Resensator: Susi S. Idris

Judul Buku        : 12 Menit
Pengarang         : Oka Aurora
Penerbit            : Noura Books
Cetakan            : Pertama, Mei 2013
Tebal                 : xiv + 348 halaman
ISBN                 : 978-602-7816-33-6

        Mewujudkan impian di tengah banyaknya rintangan bukanlah hal yang mustahil jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Orang-orang yang berani bermimpi adalah orang-orang yang juga berani bekerja keras, berani menanggung risiko, dan berani membuat keputusan. Hal tersebutlah yang ingin disampaikan Oka Aurora dalam novelnya yang berjudul 12 Menit. Melalui tokoh Rene, Elaine, Lahang, dan Tara, Oka menghadirkan sebuah kisah inspiratif tentang perjuangan anak-anak Marching Band Bontang Pupuk Kaltim dalam meraih impian mereka menjadi juara umum di ajang GPMB (Grand Prix Marching Band), sebuah perhelatan akbar tahunan tempat marching band ternama dari seluruh Indonesia berlaga memperebutkan gelar juara.
        Novel 12 Menit menghadirkan cerita yang tidak hanya fokus pada perkembangan satu orang tokoh, melainkan empat tokoh sekaligus, yaitu Rene, Elaine, Lahang, dan Tara. Keempat tokoh tersebut memiliki permasalahan masing-masing dalam masa-masa persiapan hingga latihan untuk mengikuti ajang GPMB yang digelar di Jakarta. Permasalahan-permasalahan yang dihadirkan Oka mampu membuat pembaca berkaca-kaca, sekaligus termotivasi untuk tidak menjadi orang-orang yang mudah putus asa.
        Awalnya Rene menolak tawaran untuk menjadi pelatih Marching Band Bontang Pupuk Kaltim, karena saat itu ayahnya baru saja meninggal akibat kanker hati, dan Rene khawatir meninggalkan ibunya sendirian di Jakarta. Namun setelah dibujuk oleh pihak PKT, akhirnya Rene menerima tawaran tersebut (hlm. 11-12).
        Rintangan Rene sebagai pelatih Marching Band Bontang sudah dimulai sejak awal kedatangannya. Saat itu, empat orang anggota keluar dari tim inti yang mengharuskan Rene segera mencari anggota baru. Rene pun mengaudisi anak-anak cadet band dan cukup kesulitan menemukan anak-anak berbakat di tim yang memang khusus berisi anggota-anggota baru tersebut. Namun akhirnya terpilihlah anggota-anggota yang akan mengisi posisi yang kosong. Dua di antaranya adalah Tara dan Elaine.
        Oka Aurora menggambarkan Rene sebagai sosok pelatih yang tegas, disiplin, dan cenderung keras saat melatih. Sikap Rene tersebut membuat Tara memutuskan keluar dari marching band, karena sakit hati dengan teguran dan bentakan-bentakan Rene kepadanya saat latihan. Rene pun mengakui kesalahannya pada Tara dan meminta maaf pada remaja berkerudung tersebut. Tetapi perlu waktu untuk membuat Tara kembali mengikuti latihan.
        Selain dihadapkan pada permasalahan Tara, Rene pun dipusingkan dengan posisi field commander yang harus segera menemukan penggantinya, karena Ronny yang memegang posisi tersebut mengalami kecelakaan. Elaine yang kemudian terpilih, ternyata mendapat larangan keras dari ayahnya. Ayah Elaine lebih menginginkan putrinya mengikuti Olimpiade Fisika mewakili sekolahnya daripada mengikuti GPMB.
        Permasalahan yang dihadapi Rene tidak sampai di situ. Saat semua tim Marching Band Bontang Pupuk Kaltim telah bersiap untuk tampil berlomba di Istora Senayan, masalah kembali muncul. Kabar kematian bapak Lahang diterima Rene melalui manajer Marching Band Bontang. Sang manajer yang bernama Bimo bersikeras untuk memberitahu berita duka tersebut kepada Lahang, namun Rene menolaknya dengan alasan akan mengganggu konsentrasi bermain Lahang. Namun Akhirnya, berita tersebut sampai juga ke telinga Lahang yang membuat Rene takut jika Lahang mengambil keputusan untuk pulang sebelum bertanding.
        12 Menit adalah novel karya Oka Aurora yang diadaptasi dari skenario filmnya yang berjudul sama. Novel ini terasa unik karena menghadirkan cerita tentang permainan marching band, lengkap dengan kisah perjuangan anak-anak pelosok negeri dalam mewujudkan impian mereka menjadi juara umum di ajang GPMB.

        Ada Elaine, gadis berusia lima belas tahun yang sejak kecil sangat mencintai musik. Elaine dikisahkan harus meninggalkan Jakarta mengikuti ayahnya yang dipindahtugaskan ke Bontang. Perpisahan Elaine dengan teman-teman sekolahnya berlangsung penuh keharuan. Sang ibu yang datang menjemput bahkan tak menyangka jika anaknya yang pendiam itu dilepas oleh teman-temannya yang berjajar di sepanjang dinding sekolah.
        Di Bontang, Elaine memutuskan untuk bergabung di Marching Band Bontang Pupuk Kaltim, sebagaimana ia juga aktif di sebuah marching band saat berada di Jakarta. Namun ayahnya, Josuke Higoshi, kurang mendukung kegiatan-kegiatan Elaine di luar sekolah. Ia lebih menginginkan Elaine berprestasi di bidang akademik.
        Tetapi Elaine tetap mendaftar di Marching Band Bontang dan langsung dimasukkan ke tim inti oleh Rene, sang pelatih. Dengan jam latihan untuk GPMB yang seringkali hingga malam, Elaine berlomba untuk pulang lebih awal dari jam pulang kerja ayahnya. Elaine pun tetap berusaha menjadi anak cerdas di sekolahnya, yang ia buktikan dengan nilai-nilai tinggi pada ulangannya. Tetapi itu semua tidak mampu membuat ayahnya mendukung seratus persen kegiatan marching band Elaine.
        Ayah Elaine pun marah besar saat mengetahui putri semata wayangnya tersebut lebih memilih mengikuti GPMB daripada mewakili sekolahnya di ajang Olimpiade Fisika yang tanggal pelaksanaannya bertepatan. Saat itulah Elaine benar-benar dilarang mengikuti kegiatan marching band lagi.
        Namun dengan tekad yang kuat, Elaine berusaha menunjukkan kepada ayahnya bahwa berprestasi di marching band juga bisa membuat ayahnya bangga, sama halnya jika ia berprestasi di bidang akademik.
        Selain Elaine, ada tokoh Lahang, pemuda Dayak yang juga tergabung dalam tim inti Marching Band Bontang Pupuk Kaltim yang akan mengikuti GPMB. Ia masuk dalam tim color guards, tim yang bertanggung jawab memperindah penampilan musik sebuah marching band dengan tarian dan permainan alat-alat tambahan, seperti bendera dan senapan kayu.
        Lahang adalah pemuda yang memiliki keinginan melihat Tugu Monas. Keinginan tersebut juga adalah keinginan ibunya yang belum sempat terwujud. Ibunya yang sudah meninggal pernah memberinya potongan koran bergambar Monas. Gambar tersebut kemudian selalu dibawa Lahang ke mana-mana. Lahang percaya pada kata-kata ibunya bahwa jika ia bisa mencapai Monas, ia punya kemungkinan besar untuk mencapai tugu-tugu di negara lain.
        Lahang pun mengikuti latihan menuju GPMB dengan penuh semangat. Jarak rumahnya yang sangat jauh dari stadion tempat ia latihan, tidak menghalanginya untuk terus latihan, meskipun jarak tersebut ditempuhnya dengan berjalan kaki. Namun kegigihan Lahang untuk mewujudkan impiannya “goyah” ketika penyakit kanker otak yang diderita bapaknya semakin parah. Lahang didera dilema. Di satu sisi ia harus mengikuti latihan dan berangkat ke Jakarta, namun di sisi lain ia ingin menemani bapaknya yang hanya dirawat di rumah karena keterbatasan biaya. Lahang tidak ingin peristiwa meninggalnya sang ibu di saat ia sedang mengikuti lomba tari di luar kota beberapa tahun silam, terulang kembali.
        Namun kebesaran hati bapak Lahang membuat Lahang tahu keputusan apa yang harus ia ambil, begitu pun pada saat peristiwa yang paling ia takutkan itu benar-benar terjadi dalam hidupnya.
        Selanjutnya ada tokoh Tara, gadis dengan keterbatasan pendengaran yang dipercaya Rene bergabung di tim inti Marching Band Bontang Pupuk Kaltim, karena kemampuan bermain drum-nya yang cukup bagus. Dengan alat bantu pendengaran, Tara mengikuti latihan menuju GPMB bersama anggota lainnya yang normal. Tidak Ada perlakuan istimewa yang diberikan sang pelatih kepada Tara. Hal tersebut seringkali membuat Tara kesulitan menyesuaikan permainannya dengan permainan teman-temannya yang lain, sehingga Rene seringkali memberi teguran keras pada Tara.
        Tara yang kehilangan delapan puluh persen pendengarannya akibat kecelakaan, merasa tersinggung dengan perkataan Rene pada sebuah latihan. Tara pun memilih mengundurkan diri dari marching band, meskipun Rene telah meminta maaf padanya.
        Dibumbui dengan kisah ketidakharmonisan hubungan Tara dengan ibunya, serta mimpi Tara (yang terus berulang) tentang kecelakaan yang telah merenggut nyawa ayahnya, Tara berjuang melawan egonya untuk berdamai dengan situasi. Satu hal yang Tara sadari, menjadi tim inti di Marching Band Bontang adalah mimpinya selama ini, dan ia tidak akan menyia-nyiakannya begitu saja, termasuk tidak akan membuat 120 anggota tim inti lainnya kecewa. 
        12 Menit adalah novel yang menyuguhkan semangat pantang menyerah dalam mewujudkan impian. Novel ini memberikan pelajaran berharga bahwa mimpi harus selalu kita percayai. Dengan kepercayaan tersebut, mimpi-mimpi tentu akan kita perjuangkan sepenuh hati/sungguh-sungguh, yaitu dengan berusaha semaksimal mungkin dalam menghadapi segala rintangan yang datang.
        Novel dengan sampul dominan berwarna biru ini sangat menyenangkan dibaca, karena cerita di setiap babnya hanya terdiri atas beberapa halaman, yang membuat pembaca tidak mudah bosan menuntaskan bab demi bab. Apalagi Oka menggunakan sudut pandang orang ketiga dalam bercerita, sehingga empat tokoh utama dalam novel ini mendapat waktu penceritaan yang sama banyak, yang membuat pembaca tertarik untuk terus mengikuti kisah masing-masing tokoh.
        Selain cocok dibaca para generasi muda, agar tidak mudah putus asa dalam meraih mimpinya, 12 Menit juga cocok dibaca oleh para orang tua, karena novel ini mengandung pesan bahwa di balik kesuksesan seorang anak dalam meraih mimpinya, ada peran besar orang tua yang selalu mendukung, menasihati, serta memercayai potensi anak-anaknya. Selain itu, bagi orang-orang yang awam dengan permainan marching band, novel ini akan memperkenalkan Anda pada rudiment, legato, battery, brass, dan berbagai istilah lainnya seputar marching band, yang artinya dijelaskan dalam glosarium.
        Meskipun memiliki banyak kelebihan, 12 Menit juga tidak luput dari kekurangan. Salah satu kekurangan novel ini adalah hadirnya tokoh Rob yang tidak memiliki korelasi dengan tokoh-tokoh lain. Rob yang pertama kali dihadirkan pada bab 5, dengan kisah yang cukup menarik, ternyata tidak memiliki perkembangan konflik. Ia hanya hadir kembali pada bab 13, dengan porsi penceritaan yang terbatas. Dalam hal ini, Oka sepertinya hanya ingin menampilkan Rob sebagai “contoh” anggota Marching Band Bontang yang sukses meraih mimpinya bergabung di salah satu drum corps Amerika, karena perjuangannya yang sungguh-sungguh.
        Namun, lepas dari sedikit kekurangan tersebut, 12 Menit adalah novel inspiratif yang layak untuk Anda miliki. Novel ini mengandung banyak pesan moral yang akan membuat kita semakin termotivasi untuk memperjuangkan mimpi dengan sepenuh hati. 
 
* Resensi ini diikutkan dalam “Lomba Menulis Resensi Novel 12 Menit” oleh Penerbit Noura Books


Tidak ada komentar:

Posting Komentar