Jumat, 06 Maret 2015

[RESENSI NOVEL BERSETIA]

Heterogenitas Rasa dan Tokoh-tokoh yang Memesona



   
Judul Buku    : Bersetia: Cinta yang Kembali Takkan Seperti Semula
Pengarang     : Benny Arnas
Penerbit        : Qanita
Cetakan        : Pertama, April 2014
Tebal             : 604 halaman   
ISBN            : 978-602-1637-25-8

Kesetiaan dalam sebuah pernikahan adalah dambaan semua pasangan. Melalui novel perdananya ini, Benny Arnas menghadirkan tokoh-tokoh yang berjuang menunjukkan kesetiaan. Mereka berjuang, sebab bersetia bukanlah perkara mudah.
Novel ini berkisah tentang perjalanan cinta Embun dan Brins yang penuh tantangan. Penjebakan, kecemburuan, pelarian tanpa jejak, hingga tuduhan-tuduhan aneh yang sulit disangkal, adalah tantangan-tantangan dalam rumah tangga keduanya. Selain kisah Embun dan Brins, Bersetia juga menghadirkan romantisme kenangan-kenangan Cece Po terhadap Gun-gun, suaminya yang telah meninggal, juga ada kisah tentang Om Sel yang ditinggalkan istri dan (mungkin) juga anaknya. Lalu, saat Cece Po dan Om Sel saling jatuh cinta, orang-orang dari masa lalu tiba-tiba hadir, membuat cinta keduanya harus kandas.
Dikisahkan dalam Bersetia bahwa dari lapak tempat Embun menjaga kain-kain batik milik Cece Po, induk semangnya, gadis 23 tahun itu terpikat pada Brins yang sering dilihatnya memotret di sekitar lapaknya yang berada di Pasar Jatinegara. Brins pun demikian. Ia jatuh hati pada perempuan sederhana yang tampil cantik tanpa riasan itu.
Setelah perkenalan dan beberapa kali pertemuan, keduanya mantap melangkah ke jenjang pernikahan. Kejutan rumah baru, high tea nyaris setiap hari, hingga jalan-jalan berdua mengelilingi Jakarta, adalah momen-momen romantis pascapernikahan.
Sayangnya, kehangatan rumah tangga keduanya tidak berlangsung lama. Kelakuan bejat Brins yang disaksikan langsung oleh Embun, membuat perempuan itu nekat meninggalkan suaminya. Embun yang tidak tahu hendak ke mana, terseret ke tempat yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya. Tempat yang menguak banyak misteri dari masa lalu. Tempat yang akhirnya mempertegas keadaan psikologis Embun.
Brins yang merasa bersalah terkait hilangnya Embun, terus mencari keberadaan istrinya itu. Namun, mengapa saat Brins telah menemukan Embun, lelaki itu malah ingin membunuhnya? 

Heterogenitas Rasa
Bersetia penuh dengan heterogenitas (keanekaragaman) rasa. Pengarang menyuguhi pembaca dengan teh, kopi, eksotisme Lubuklinggau, serta masalah psikologis tokoh.
Teh adalah suguhan terbanyak dalam Bersetia. Hal tersebut disebabkan oleh keberadaan Embun sebagai Perempuan Teh, perempuan yang setiap seduhan dan racikan tehnya selalu nikmat. Aneka jenis teh (buatan Embun) dipaparkan dalam Bersetia, membangkitkan hasrat minum teh bersama orang-orang terkasih. Selain teh buatan Embun, pembaca akan diajak mengenali tempat-tempat minum teh di tanah air maupun luar negeri, melalui sosok Gun-gun, penikmat teh yang akut.
Tidak hanya teh, Bersetia juga menghadirkan kopi. Brins dan Om Sel, dua lelaki penikmat kopi, dua lelaki yang sama-sama kehilangan keluarga, bertemu di Coffee Coffee. Pertemuan yang intens membuat keduanya menjalin pertalian sebagai anak dan ayah angkat. “Bagi Brins, Coffee Coffee bukan sekadar kafe yang nyaman untuk minum kopi, tetapi juga taman bermain bagi perasaannya—ketika bahagia maupun gundah, ketika luang maupun sibuk.” (hlm. 66).
Setelah “menikmati” teh dan kopi, pembaca akan diajak ke Lubuklinggau, salah satu latar tempat dalam Bersetia. Eksotisme Palembang, khususnya Lubuklinggau, dihadirkan Benny melalui kehidupan masyarakat di kota tersebut, geliat pembangunannya, cara bertutur (dialek), hingga tempat-tempat wisata beserta kulinernya.
Terakhir adalah unsur psikologis yang membuat novel ini penuh ketegangan dan kejutan. Benarkah Brins tidak setia? Atau benarkah Embun yang lugu itu seorang pendusta?

Tokoh-tokoh yang Memesona
Brins, Embun, Cece Po, dan Sarah, adalah tokoh-tokoh yang memesona dalam Bersetia. Mereka menarik perhatian karena sifat-sifatnya, interaksi antartokohnya, dan kepiawaian Benny menghadirkan ‘beban masa lalu’ di diri tokoh-tokohnya itu. 
Embun memesona dengan kemampuan menyeduh tehnya. Dia digambarkan sebagai perempuan yang mudah cemburu. Embun juga memiliki kecintaan terhadap stasiun kereta. Selain itu, Benny menyertakan sebuah “gangguan” di diri Embun, membuat sosoknya semakin ‘misterius’ bagi pembaca.
Suami Embun, Brins, adalah tipe tokoh fiksi yang (akan) dikagumi pembaca. Dia tampan, mapan, dan penuh kejutan pada istrinya. Sosoknya yang romantis dengan segala latar belakang keluarganya menghadirkan kehangatan tersendiri dalam novel ini.     
Cece Po memesona karena nasihat-nasihatnya yang melegakan. Dia adalah seorang yang kesepian, namun di sisi lain, dia memiliki ketabahan. Kenangan-kenangannya bersama mendiang suaminya adalah momen-momen menghanyutkan dalam novel. “Kebahagiaan itu akan timpang bila belum menemukan kesedihan. Dan pertemuan itu akan memberi begitu banyak pelajaran bagi manusia apabila ia sudah menemukan pasangannya; Perpisahan.” (hlm. 596).
Terakhir, Sarah. Dia adalah sosok yang membangkitkan simpati di awal kisah (karena keceriaan dan keramahannya), lalu empati di akhir kisah (karena jati dirinya yang akhirnya terkuak). Percakapan gadis itu bersama ibunya di akhir novel begitu menyentuh. Sarat harapan dan kepercayaan.  

Selain heterogenitas rasa dan tokoh-tokoh yang memesona, Bersetia memiliki latar yang deskriptif. Penggunaan bahasa yang estetis juga merupakan poin plus dalam novel ini. 
Hal yang kurang digali pengarang adalah bagian pengungkapan sebab tokoh antagonis melakukan aksinya.  Bagian tersebut terkesan buru-buru, sehingga tokoh-tokoh yang terlibat dengan entengnya mengungkap kejahatannya sendiri.
Namun, lepas dari itu, Bersetia merupakan novel dengan eksplorasi tema percintaan yang sangat memikat. Teh, kopi, eksotisme Lubuklinggau, masalah psikologis, juga tokoh-tokoh yang memesona, berpadu dengan konflik yang dibangun pengarang. Konflik yang akan menunjukkan esensi bersetia.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar